Pages

Wednesday, May 5, 2010

Inginku

Photo: Berlin (koleksi pribadi)

Mentari pagi mengoyak langit biru. Pohon-pohon bertelanjang, menjulur-julurkan lidahnya ke langit. Mereka berteriak, meronta dari pelukan bumi. Lelah menanti musim berganti.

Senin. Pukul 09:00 pagi. Berlin Ostbahnhof. Zafira silver. Dua jam perjalanan terencana menuju bilikku. Aku harus kembali.

Semua rasa menggauli pikiranku. Jemari kiriku sibuk memainkan ujung syal merah yang terlilit seadanya di leherku, aku menyandarkan badanku sepenuhnya pada kursi hitam jangkung tempatku duduk, sementara aku hanya bisa membuang jauh-jauh pandanganku lewat kaca bening disampingku. Bukan hanya sepi tapi juga rindu itu sudah mulai memilu. Gelisah merambat kian cepat.

***

Aku memaksa pikiranku patuh walau hatiku tidak tunduk. Rangkulan malam mungkin sanggup menyamarkan mataku dan menyelamatkan kawanannya, tapi rasaku terlalu dekat dan tak ingin membawaku tersesat.

Dua minggu berlalu. Ya. Dua minggu terasa hanya berganti semalam saja. Entah apa yang telah terjadi dengan bilangan malam-malam. Lalu, kemana pagi, siang dan sore? Aku hanya berani menduga-duga, sang malam menyembunyikannya sebagai sesama kawan.

"Baiklah, mungkin aku harus kembali! Aku memang harus kembali!" ucapku terpatah-patah sembari menatap kedua mata itu, lagi dan lagi.

Dan akupun mengakhiri percakapan singkat hari itu. Malam terakhir yang telah berhasil terguling oleh gundah berhari-hari. Aku tak lagi ingin bertanya. Aku tak lagi ingin angkat bicara. Sudahlah! ucapku meyakinkan diri.

***

Lelakiku. Lelaki yang kucinta. Lelaki yang membuatku tergila-gila. Inginku mengadu pada malam, betapa rasa itu begitu kokoh membendung barisan kata-kata yang ingin kusampaikan. Pertahananku tak cukup ampuh saat kecupmu menyapa, hadirmu terlalu nyata.

Entah bagaimana aku harus memulai. Entah sampai kapan aku baru bisa menyakinkan, kita bukan pemilik cinta, ini. Dan kita harus segera mengakhirinya.


ditulis : 25.03.2010
(yang ditulis dalam perjalanan)


°°°

Saya mencoba kembali menulis disini, ambil jadwal Rabu seperti biasa.

Tuesday, May 4, 2010

Ini Gila!

Rasa itu masih ada. Mungkinkah aku mampu melupakan dia? Dia sangat lembut. Perawakannya yang gagah dan sopan membuat hatiku berdetak kencang. Hari itu hari Rabu, hari pertama pertemuan kami. Pakaiannya berwarna abu-abu. Dulu aku tidak menyukai warna itu. Bagiku, hidup ini hanya hitam dan putih. Tidak ada sesuatu seperti abu-abu. Itu palsu. Itu plin-plan. Itu tidak yakin.

Dia! Dia penyebab semua itu. Kilauan satin yang melekat pada dadanya yang bidang membuat aku merubah jalan pikiranku. Aku menjadi gila.

Dia! Dia akar permasalahannya. Sentuhan tangannya yang kuat dan sedikit kasar. Suaranya yang lembut namun tetap jantan. Saat dia mengatakan namanya, hatiku bergetar. Getaran apa ini?

Tidak! Aku tidak akan jatuh cinta. Cinta itu gila. Cinta itu buta. Hmm... cinta itu tidak nyata. Ilusi. Bohong besar.

Cinta hanya dialami orang yang haus belaian. Tante Ria misalnya, dia hanya butuh sentuhan. Suaminya yang tidak pernah pulang membuat dia dahaga. Aku? Tidak! Aku masih muda. Aku tidak gila. Aku waras. Aku bukan tante Ria.

Aku jatuh cinta. Ya! Salahkan aku! Hati ini berat. Hati ini lebih kuat. Aku berkhianat!

Pengkhianatan yang akan aku sesali selamanya.

Selamanya.

Tante Ria mengajak aku menikmati es krim vanila favoritku. Dia akan memperkenalkan aku dengan partner barunya. Aku tahu laki-laki itu tidak hanya partner. Aku tahu manusia semacam itu. Laki-laki yang hanya menginginkan harta tante. Laki-laki yang haus sentuhan. Laki-laki munafik.

Dia datang, aku berdiri dan menyapanya. Laki-laki yang menjadi partner tanteku. Laki-laki yang dulu menggunakan pakaian satin abu-abu. Laki-laki yang menggetarkan nadiku. Laki-laki favoritku. Laki-laki yang mengoyakkan hatiku.