Pages

Wednesday, February 10, 2010

kamu dan si ular hitam


-Ilustrasi-

Dua bola mata itu beradu denganku. Tak mau kalah. Aku merasa, dia semakin buas. Merampas keakraban sesaat, Sabtu sore itu.

“Terimakasih buat hari ini ya!”
Dia melemparkan senyum ke arahku sembari menyimpulkan tali sepatunya.

“Tunggu!” Pandangan itu. Aku mengenali. Bukan hanya itu. Bahasa tubuhnya, juga! Hm.

Sesibuk aku mencocokkan list ingatanku, tak sadar, aku telah membiarkan tatapanku menjelajah, mungkin sudah berlama-lama mendarat di muka dia.

Astaga..! Dia membidikkan pandangannya tepat dibawah selidikku. Hampir aku terperangkap. Untung cepat bergeliat dan rambutku tergerai bebas, paling tidak ikut membantu!

“Aku keluar bersama kalian.”

Sambil menyambar jaket musim dingin hitam polos yang tergantung di dekat pintu keluar, aku menyahut memastikan. Sementara, tangan kiriku menahan pintu asrama Hochschulstrasse, gedung yang tidak begitu jauh dari Beyerbau, fakultasku.

“Oh..mau sama-sama ceritanya neh?”


Nadanya mencoba akrab seraya menahan pintu dengan utuh.
Kali ini aku tak bisa berkedip, lentik bulu mata itu meraba ingatanku. Namun, aku mencoba tak memaknainya. Biarkan saja. Ini kali pertama aku kenal pria ini, pikirku.

***

Di strassen bahn, mataku tak lepas dari tulisan pemberhentian merujuk pada kursor hitam yang berganti hampir tiap dua menit, di monitor kecil itu. Tak lupa, seluruh kemampuan kupaksa mengerti apa yang dikatakan perempuan dari speaker itu saat kereta melaju kembali. Memang, hari itu kita berjanji bertemu. Aku meminta untuk diajarkan gitar klasik.

"Nyasar kemana dulu?"

Begitu kamu membuka pembicaraan. Aku hanya berani menarik senyum, menahannya sembari meneruskan beberapa langkah dan menghampirimu di pojok Apotik.

"Iya euy, aku kesasar! aku tidak tau kalau tram nomor 12 menyebrang dulu naiknya.", tandasku membela diri.

"Gila! Ini Jerman, kamu kemana saja? mana ada lagi alasan macet!", dia menegaskan.

Aku sempatkan melirik jam di tengah persimpangan itu, sejam berlalu dari janji. Kasihan juga dia menunggu dingin seperti ini, pikirku. Tanpa membantah lagi, aku hanya mengikuti dia sembari berpikir, sosok pemarah atau tegaskah? Hm.

***

Aku menyukai permainan gitarnya. Sayang, partitur itu sempat membuatku berpikir menjadi orang paling bodoh. Tapi, itu pula yang memberiku kesempatan untuk memaknai sepasang mata hitamnya. Tatapan, yang seminggu sebelum pertemuan pertama telah kutemukan di dekat mata air, sesaat setelah aku memutuskan untuk menyusuri sumbernya. Ya, tatapan yang sama dengan ular hitam yang kutemukan saat itu, dia mengisyaratkan matamu!

***

Maaf, beberapa tulisanku sempat kusimpan karna pertimbangan2 yang membuatku males untuk berargumen. Dan tulisan ini salah satunya.