Pages

Thursday, February 4, 2010

senyum terbaik, untukmu..

(sumber foto nyulik disini)

Dengan seragam putih-merahnya, “Cherdik” begitu panggilan akrab gadis kecil itu di rumah, berlari diantara hamburan anak SD yang pulang sekolah siang itu. Kuncir ekor kuda dan pita merah jambu yang melilit mengokohkan ikatan rambut hitamnya, membuat dia terlihat sedikit rapih. Ya, dia berlari sembari melebarkan senyum diantara khayalan siang bolongnya, entah apa yang dia pikirkan.


Cherdik terhenti saat dia harus membuka gerbang besi berwarna putih yang terlihat sudah mulai tua tapi bertengger kokoh dihadapannya. Peluh diwajahnya beradu dengan beberapa pasang mata yang tak lepas mengamatinya. Dia tak membalas tatapan itu, seolah dia tidak ingin diganggu dengan dunianya dan benar saja, dia kembali berlari, bersegera menuju rumah dinas yang mereka tempati saat itu.


Sepi! “Ayah dan ibu kemana?”pikirnya.


Dapur kosong, “Ibu kemana?”

Tidak ada bau segar makanan yang tertinggal dari masakan yang baru diolah.


Setengah berbisik dia mempercepat langkah memeriksa kamar, tempat dimana sang ayah biasanya dia temui kalau tak mendapatinya di beranda. Tempat itu menyiratkan sesuatu yang berbeda dengan Cherdik, tempat favoritnya sebelum bisa mengeja. Saat sang ayah mengijinkannya sekedar menikmati gambar dari buku-buku tebal yang disusun rapi di sebelah kanan meja persegipanjang itu, lalu disusul tertawa lepas sang ayah melihat putri kecilnya berkeliaran dengan imajinasinya. Iya, ayah memang suka duduk berlama-lama disana bahkan tak sekali dua kali Cherdik mendapati beliau duduk membaca jam dua pagi, disaat kebutuhan ke kamar mandi membangunkannya.


Senyum lebar Cherdik perlahan hilang terganti dengan wajah gundah. Hatinyapun menciut.


Kosong! Tidak ada orang di rumah. “Kemana mereka?”


Tadi pagi rasanya aku tidak dipesankan sesuatu, atau mungkin lupa? Tidak ! Cherdik menepis!

Tak biasanya, ini kan waktunya makan siang!


“Aku tak suka sepi!”

Cerdik mencoba memerangi apa yang dia rasa dan beranjak keluar.


“Apa yang mesti aku lakukan?”

Cherdik sedikit memaksa. Dia tersenyum kembali dan berlari ke belakang gereja, masih dengan seragam yang menempel dibadan.


“Turun nak, itu dahannya tidak cukup kuat!”


Seorang bapak setengah umur, mengingatkan Cherdik, yang beberapa waktu sebelumnya hanya bisa diam terpaku menyaksikannya berayun tanpa beban di salah satu dahan pohon jambu yang malang itu.


“Mati aku!” sontak Cherdik memasang mata was-was.


Dia tertangkap basah melakukan hal satu yang disukainya itu. Dia memang sedang menikmati saat bergelantungan di pohon jambu belakang gereja sembari menikmati setiap kunyahan di mulutnya. Entah kenikmatan apa yang didapatinya.


“Ayo nak..ayo turunlah!” Bapak itu kembali meminta.


Dengan muka bersemu merah, Cherdik turun dan memaksa tersenyum manis saat itu. Dan sepertinya si bapak sangat memahami apa yang ingin disampaikan senyum itu. Tanpa menunggu lebih lama, Cherdik mendengar bapak itu berkata: “Tidak usah takut, bapak tidak akan memberi tahu ayahmu, tapi, lain kali jangan seperti itu lagi ya?” itu berbahaya! imbuhnya.


Sambil mengangguk, Cherdikpun berlalu seiring bapak itu juga melanjutkan perjalanannya.


Tiba-tiba terdengar sayup-sayup sesuatu yang tak asing ditelinga Cherdik. Dia menarik kembali langkahnya, seperti magnet yang terkutub, sumber itu menariknya ingin mendekat.


Dia merapatkan badannnya, tak sadar, mulutnya hampir bersentuhan dengan pintu gereja. Sayang, celah pintu itu mendongak ke arah pintu keluar bukan ke arah piano tua itu berada. Matanya sibuk mencari-cari sosok yang memainkan lagu itu. Tanpa berpikir panjang, dia memanjat dari salah satu jendela, mengambil sisi diagonal dan berharap tidak akan ada kejadian apes ketemu mata.


Dengan susah payah, dinding gereja yang terbuat dari masonry itu berhasil ditahlukkannya, sosok pria yang memainkan piano itu terlihat begitu menikmati lagu yang sedang dia mainkan berulang, matanya teduh menggambarkan sebuah kehidupan yang sangat berarti buat Cherdik. Tak terasa air mata Cherdik ikut meleleh membajiri pipinya. Dia salah satu sosok yang dia cari sehabis pulang sekolah tadi, walau sempat berujung di pohon jambu.


---


Cherdik mungkin belum begitu mengerti dengan airmata saat itu, seperti dia memahaminya sekarang. Tapi , tatapan sang ayah tak mungkin pernah dia lupakan. Dia berjanji, akan berlari kepada Tuhannya saat dadanya sesak, seperti ayah!


Senyum bahagia putri kecilmu dengan selembar raport, nilai terbaik saat itu, walau tak mendapati kalian, tapi dia tau doa-doa yang mengukuhkannya. Cherdik akan tetap belajar memberi senyum terbaik kepada semua orang, seperti ayah!

***

Maaf, beberapa tulisanku sempat kusimpan karna pertimbangan2 yang membuatku males untuk berargumen. Dan tulisan ini salah satunya.