Pages

Saturday, January 30, 2010

Surat untuk Sahabat

Seorang sahabat menaruh kasih setiap waktu, dan menjadi saudara dalam kesukaran



Tiba-tiba kamu menghilang! Semua panik. Project kita terancam bubar!

***

Aku memang tidak tau betul siapa kamu. Aku bahkan belum pernah bertemu muka denganmu. Awal pertemanan kita pun sangat unik. Kala itu group bentukanmu mengadakan lomba dari game yang begitu ku gandrungi, dan aku begitu ingin ikut serta dalam lomba itu. Akupun masuk sebagai anggota group'mu, upload foto karyaku, dan ternyata salah satu syarat untuk ikut lomba itu, harus menjadi teman para admin (kau salah satu adminnya). Kalah. Aku memang tidak menang di lomba itu, namun aku memenangkan satu nilai yang lebih besar dari pada sekedar game. Persahabatan. Ya, begitulah kita mulai terlibat dalam kelompok yang sama. Kau menjadikanku salah satu admin di group itu (psmi), membuat kita semakin dekat, apalagi kita mengadakan lomba halloween dimana setiap hari perlu adanya koordinasi sesama admin.

Usai masa-masa sibuk lomba halloween, aku pun terpilih sebagai salah satu penerima hadiah dalam thread menyambut natal "Give Away", dimana setiap kita yang terpilih boleh make a wish yang akan dikabulkan santa pet di malam natal. Kau pun ada di thread itu, bersama teman-teman kita yang lain.

Kemudian kebosanan mulai melanda kau dan teman-teman kita, hingga akhirnya ide cemerlang muncul dari pikiranmu. Ngeblog. Padahal aku sama sekali tak tau caranya. Tak tau menulis yang baik. Tapi kau begitu sabar. Kau membagi apa yang kau tahu denganku, dengan yang lain juga (aku belajar banyak soal yang satu ini).

Kemudian, tiba-tiba kamu menghilang. Namamu tidak tercantum lagi sebagai admin di psmi. Di inbox ku, namamu menghitam. Apa yang terjadi? Semua panik. Mencarimu. Kehilanganmu, sampai akhirnya kutemukan kau disini, di blog kita. Ternyata, oh ternyata..., ada seseorang yang menghack akunmu, sesaat setelah kau pamerkan kekayaan Bla (petmu). Untung saja mereka tidak merampok si kaya Bla ;) dan kau pun kembali. Tapi tidak sepenuhnya kembali, karena sejak kau kembali, kau tidak kembali ke group yang mempertemukan kita. Kau meninggalkan psmi.

Entah bagaimana awalnya, aku bisa setuju mengikuti project nekad ini. Satu minggu dengan satu cerpen, padahal aku sama sekali awam soal ini. Kita berkomitment untuk menjalankannya setahun ini. Bersahabat denganmu, banyak memberi masukan positif bagiku. Duniaku mulai terbuka, teman-temanku pun bertambah. Aku bersyukur menjadi sahabatmu, walau terjalin maya.

***

Dan kini, kepanikan itu terjadi lagi. Kau menghilang. Tepat di hari ulang tahunku! Semua blogmu di setting private, di blog kita, namamu menghilang dan di inbox, namamu kembali menghitam. Apa yang terjadi sahabat? Adakah yang salah? Sakitkah kau? Adakah yang tidak beres? Kambuhkah sakit ditangan kirimu yang pernah kau keluhkan? Ataukah ada yang kembali mencoba menghack akunmu? Ataukah kau sedang di Papua melanjutkan projectmu? Ataukah...(ini dugaan paling sulit bagiku) apakah kau lelah menjadi teman mayaku, teman maya kami? Oh, tidak.

Padahal aku merasa kau kini bagian keluargaku. Bukankah tempat yang sama dimana kita bernaung menjadikan kita satu keluarga? Ketika kau menceritakan bagaimana repotnya harus menimba air saat keran mati, aku seolah ikut merasakan kerepotanmu. Ketika bunda tercintamu ulang tahun, aku ikut terpingkal-pingkal kala si kecil Joshua membocorkan rencana surprise yang kau dan keluargamu buat kepada sang bunda. Ah! Sahabat, sungguh, kau seperti saudara bagiku. Bagi kami.

Sahabat...
Apakah kau tau? Indah teman kelingking kita ingin mengundurkan diri dari project yang sudah kita sepakati selama setahun ini? Apakah kau tau? Irene dan yang lain begitu patah semangat tanpamu? Apakah kau tau? kau adalah inspirasi bagiku? Apakah kau tau? Ekasari begitu takutnya kau tidak ada diantara kita, dan menyalahkan dirinya atas menghilangnya dirimu? Apakah kau tau? Winda, Eka, mba Ami, mba Siska, mba Delia, mba Jude, kami semua merasa kehilanganmu? Apakah kau tau semua terasa tak sama?

Sahabat...
Mengapa hati kecilku berkata kau tak akan kembali? Seperti kau tak pernah kembali ke psmi? Jangan tinggalkan teman-teman kelingkingmu dengan tanda tanya. Kami merindukanmu...

Friday, January 29, 2010

Kebaya Pengantin




Tanti lagi ribet. Pernikahannya sudah di depan mata dan dia merasa semua persiapan masih mentah. Hampir setiap hari Tanti uring-uringan dibuatnya. Ada saja yang membuat dia senewen dari mulai bangun pagi sampai saat dia berangkat tidur. Semua orang di rumah kena getahnya. Mami kena semprot gara-gara catering service yang di pilih Mami tidak mau memberikan tester. Papi juga tidak luput dari omelannya gara-gara belum juga memesan layanan bis besar untuk mengangkut keluarga besarnya dari rumah menuju gedung tempat pernikahan.
Owwh, bicara soal gedung kepala Tanti makin nyut-nyutan. Setelah sempat bersitegang untuk bisa mendapatkan tanggal yang diinginkan, Tanti masih belum puas karena dia menginginkan resepsi diadakan malam hari. Akhirnya dengan sedikit kesal, Tanti mengalah untuk memajukan waktu resepsi menjadi siang hari karena sudah ada pasangan lain yang membayar DP untuk malam harinya. Semua serba tidak sempurna, begitu pikir Tanti. ‘Padahal aku ingin segalanya sempurna’ batin Tanti. ‘Bukankah ini hari bahagiaku? Semua harus terlihat sempurna dan aku juga harus terlihat sempurna seperti seorang ratu’ tekadnya.
Tanti menatap ke arah cermin di dekat meja riasnya. ‘Oh Tuhan, siapa perempuan gendut dalam cermin itu?’ teriak Tanti dalam hati. Teringat ucapan Tante Siska, perias pengantin yang dipilihnya, saat dia melakukan fitting seminggu yang lalu. “Tanti, kalau kamu tetep ngotot mau pakai kebaya yang maroon ini, paling tidak kamu harus bisa nurunin berat badan sepuluh kilogram lagi baru bisa muat. Tante sarankan ya, kamu pilih yang warna lain aja yang ukurannya sesuai sama badanmu” Tante Siska menjelaskan tanpa perasaan. Tanti hanya bisa menelan ludah. Baginya menyerah dan berubah pilihan adalah suatu kekalahan. Dia sudah mimpi-mimpi akan memakai kebaya berwarna maroon dengan aksen emas dalam pernikahannya kelak. Tanti tidak pernah berpikir kalau dia perlu menjahit kebaya sendiri untuk ukuran tubuhnya yang sedikit lebih besar dari ukuran normal, karena dia tidak punya satu penjahit pun yang bisa dipercayanya.
Saat Tanti ke tempat Tante Siska, matanya langsung tertumbuk pada kebaya maroon yang dipajang di patung mannequin di tempat display kebaya pengantin. ‘Uuuh, ini dia kebaya pengantinku!” tekadnya dalam hati. Sayang seribu sayang, saat fitting ternyata kebaya itu ‘sedikit agak terlalu’ kekecilan untuknya. Tanti ngotot menggunakan kata ‘sedikit agak terlalu’. Biarpun Tante Siska sudah mengultimatumnya untuk bisa menurunkan berat badannya sepuluh kilogram dalam waktu tiga minggu, Tanti tidak mundur. Dia yakin bisa menurunkan berat badannya dalam waktu singkat.
Mulailah hari itu Tanti puasa mutih. Hanya makan nasi putih dan minum air putih. Setiap hari!
‘Gila kamu, ya?” Mami protes keras melihat kenekadan Tanti. “Kamu bisa mati lemas kalau tiap hari kaya begitu. Bisa-bisa pas hari H kamu malah nggak segar. Mau?” tanya Mami lagi.
“Mami, pokoknya itu kebaya harus muat! Aku nggak peduli gimana caranya.!” Tanti ngeyel. Sifat dasar yang sudah mendarah daging dalam dirinya dan sudah sangat dimaklumi oleh Mami dan Papinya.
“Mami kan udah bilang jauh-jauh hari, coba pergi ke Tante Rini yang penjahit itu. Dia kan kalau jahit kebaya lumayan bagus. Kenapa sih nggak jahit kebaya sendiri aja? Kenapa harus sewa? Udah gitu mending pas di badanmu!” Mami masih berusaha mengalihkan pendirian Tanti.
“What? Tante Rini? No way, Mami! Bisa-bisa kebayaku nggak jadi pas hari H-nya. Udah gitu belum tentu enak dipake. Kalau nggak enak, mau nggak mau harus dibongkar lagi jahitannya. Wuuah, pokoknya nggak sempurna! Aku nggak mau!” Tanti tetap ngeyel.
“Terserah!” Mami kesal sendiri.
“Iya, dong! Terserah aku! Ini kan pernikahanku! Week!” Tanti cuek membalas kedongkolan Maminya. “Trus Mami jangan lupa ya, bilangin Tante Gina yang jutek itu untuk jadi pengawas cateringku. Biar nggak dikerjain. Aku nggak mau sampai kejadian makanan dibilang udah habis, padahal tamu masih banyak yang belum datang. Pokoknya semuanya harus SEM-PUR-NA!” sambung Tanti lagi.
“Capedee!” Mami berlalu sambil memegang kertas-kertas hasil rapat panitia pernikahan putri satu-satunya itu. Tanti melanjutkan mematut-matut dirinya di depan cermin.

Sudah dua minggu Tanti mutih. Tinggal seminggu lagi waktu yang tersedia untuk Tanti menurunkan berat badannya sesuai yang diinginkannya. Tanti siap-siap menimbang berat badannya sore itu di kamarnya. Hatinya dag dig dug ingin melihat hasilnya. ‘Paling tidak harusnya beratku udah turun tujuh kilogram. Pliiis Tuhan…’ harap Tanti sambil naik ke atas timbangan badannya.
“Whaaaat??? Cuma empat kilo?? Nggak mungkiiin!!!” jerit Tanti keras.
“Tantiiii!!! Kamu kenapaaa???” Mami berteriak kaget mendengar jeritan Tanti barusan.
“Nggak papaaa, koook!” balas Tanti cepat-cepat. ‘Huuuh…harus dibantu apa lagi nih, biar cepet turun?’ Tanti mulai berpikir keras.
Sebenarnya minggu lalu, Yulie sahabatnya sudah menawarkan susu penurun berat badan. Kata Yulie hasilnya tokcer. Bisa turun berat badan sampai lima kilogram dalam satu minggu. Tapi Tanti menolak. Menurutnya mutih lebih ampuh menurunkan berat badannya. “Kalau cuma lima kilo, mendingan gue mutih aja deh, Yul. Pasti bisa turun lebih banyak lagi kalau aku cuma makan nasi putih dan minum air putih thok!” katanya saat itu ke Yulie.
Tanti jadi berpikir ulang tentang tawaran Yulie itu sekarang. Waktunya tinggal seminggu lagi dan dia masih harus menurunkan beratnya sebanyak enam kilogram lagi. Kalau susu itu benar bisa menurunkan berat badannya sebanyak lima kilogram dalam seminggu berarti masih ada satu kilogram lagi yang harus dipikirkan bagaimana caranya untuk dienyahkan.
Aha! Tanti punya ide. Segera diambilnya handphone dan dihubunginya Tante Siska. Tulisan ‘Perias Pengantin Jutek’ segera muncul di layar handphonenya. Tanti Cuma meringis melihatnya sekilas.
“Halo, Tante. Aku mau nanya. Kalau aku pakai korset dua nomor lebih kecil, kira-kira bisa muat nggak ya kebayanya di aku?” tanya Tanti tanpa basa-basi begitu telponnya dijawab Tante Siska.
“Hah? Kamu udah gila ya? Bisa sesek napas kamu tau!” Tante Siska sedikit menjerit menjawab pertanyaan Tanti yang tidak disangka-sangkanya.
“Nggaklaaah….Kan makenya cuma sebentar. Pakenya di kait yang paling belakang. Udah, gini aja deh, tiga hari lagi aku ke tempat Tante buat final fitting. Sediain korset ukuran kecil ya. Aku mau test!” Tanti memutuskan sendiri.
“Terserah kamu deh” jawab Tante Siska malas. Tante Siska hanya bisa geleng-geleng kepala setelah memutuskan pembicaraan dengan Tanti di telpon. Selama dua puluh tahun menjadi perias pengantin dan penyedia kebaya pengantin, baru kali ini dia mendapat pelanggan seperti Tanti. Cerewet minta ampun, omelnya dalam hati. ‘Padahal aku udah masuk kategori judes, kok dia bisa lebih judes dari aku ya?’ tanyanya sendiri dalam hati.

Tanti berjalan sempoyongan menuju rumah Tante Siska. Sudah beberapa hari ini kepalanya sakit sekali. Tanti bukannya tidak menyadari keadaan dirinya. Dia tahu kalau tubuhnya sudah mulai lemah karena aksi diet gila-gilaan yang sedang dilakukannya. Bayangkan, mutih alias Cuma makan nasi putih dan minum air putih, di tambah malam cuma minum segelas susu penurun berat badan dari Yulie dan dilengkapi dengan sit up dan push up tiga set tiap pagi dan malam. Tapi bukan Tanti kalau menyerah begitu saja.
“Bisa nafas nggak kamu?” tanya Tante Siska begitu selesai mengaitkan kaitan terakhir korset yang dipakaikannya ke Tanti.
“Bisaaa….” Jawab Tanti sambil menahan nafasnya.
“Coba duduk!” perintah Tante Siska.
“Nggak usah! Nanti juga kan aku berdiri terus salaman sama tamu-tamu” jawab Tanti mengelak. Bukan apa-apa, berdiri saja rasanya perutnya sudah mau meledak, apalagi dibawa duduk? Huuufff…..
“Ya udah, kalau kaya begini, kayanya sih bisa pake kebaya maroon itu” kata Tante Siska akhirnya.
“Good!” jawab Tanti senang. “Lepasin dong, Tante! Udah selesai kan fittingnya?” tanya Tanti cepat berusaha untuk keluar dari korset super ketat sialan itu secepatnya.

Kebaya maroon manyun tergantung di pintu kamar pengantin bernuansa maroon dan emas. Seandainya dia bisa bicara, pasti dia sudah ngomel-ngomel panjang sejak tadi.
“Sialaaan! Dipaksa, dirobek dan dimuntahin! Ini pemerkosaan! Bener-bener hari siaaal!” begitu kira-kira si kebaya maroon akan mengumpat.
Pengantin wanita tampak terkulai tengkurap di tempat tidur pengantin bertabur mawar merah. Bibi tengah berkarya di punggungnya membuat garis-garis miring berwarna merah dari sebuah koin berbalur minyak. Tanti lagi kerokan akibat masuk angin akut, lemas kurang cairan dan keluhan-keluhan lainnya.
“Oooh, my perfect wedding….” Bisiknya kesal mengingat tragedi muntah dan hampir pingsan di atas panggung saat tengah menerima ucapan selamat dari para tamu.

Dua hari kemudian Tanti memberanikan diri menghidupkan handphonenya setelah kejadian memalukan di hari pernikahannya itu. Di dengarnya satu per satu pesan dari teman-temannya yang memuji-muji dirinya terlihat cantik saat itu. “Huh! Dasar pembuohong semua!” maki Tanti dalam hati. Mereka pasti sekarang tengah berkumpul dan mentertawakan dirinya di sebuah café entah di mall mana kali ini.
“Halo, Tanti. Kamu harus ganti ya harga kebaya tempo hari. Sobeknya sampe panjang banget gitu di bagian belakang. Udah Tante bilang, jangan dipaksain, kamunya ngotot sih!” terdengar suara Tante Siska dari layanan voice mail handphone Tanti pada pesan terakhir yang di dengarnya.
Hap! Tante memasukkan sepotong besar pizza ke dalam mulutnya sambil mematikan handphone-nya kembali.

*ilustrasi diambil dari http://textilesbykomang.com/Kebaya_Nirina_Maroon.JPG*

Thursday, January 28, 2010

jalan pagiku

dear diary,
Maafin yaaa aku sudah enam hari tidak menengokmu. Aku tidak membuka lembaranmu untuk menemukan lembaran kosong baru sesudah lembaran terakhir aku isi dengan tulisan rapi agar engkau tetap terlihat cantik.

Terakhir, hari Senin aku mengisimu dengan omelanku karena siang harinya ada mata kuliah konstruksi bangunan ! Huaaah dari mulai awal masuk jurusan ini aku sudah terbayang, tidak sukaaa dengan mata kuliah ini. Iyaaa my diary, aku juga tahu mata kuliah ini amat penting, bisa ambruk rancangan bangunanku kalau aku tidak mau mengenal mata kuliah ini dengan baik. Maafkan yaa aku sudah mengisi lembaranmu dengan omelan yanggg tidak perlu.
Tapi pasti kamu memaklumi kan, engkau adalah sahabatku yang paliiing menyenangkan. Kamu terima semua apa yang ada di dalam pikiran dan rasaku, tanpa engkau menghakimiku. Terima kasiiih.

Eeeeh tapi kali ini diaryku, hihihihi aku mau ketawa ketiwi geli.
Seperti biasa kan, hari Sabtu pagi, segaaar rasanya setiap bangun pagi di hari ini, karena yups libuuur hehehe. Dan inilah kesempatanku untuk berolah raga. Jalan pagi.
Naah ceritanya nih diary, kemarin pagi itu aku bangun agak kesiangan, biasalah hari Jumat malam aku ingin menyelesaikan gambar perspektifku sehingga aku punya waktu libur penuh hari Sabtu dan Minggu. Iya diary, hari Senin adalah batas waktu pengumpulan tugas mata kuliah perancangan. Jadi aku selesaikan gambar perspektifku hingga jam dua dini hari.
Sabtu pagi itu aku bangun jam setengah enam. Iya itupun masih pagi, tapi kan kesiangan kalau untuk jalan pagi. Tapi kamu tau kan, jalan pagi adalah olah raga yang paling aku sukai.

Terusss, bagaimana? Teruus aku bangun, bersiap, kali ini aku menggunakan sweater berlengan panjang untuk menutup t-shirt tipis lengan pendek dan celana panjang kaosku. Aku tidak ingin kedinginan karena dini hari ini aku hanya tidur tiga jam. Aku gunakan sweater butut yang sudah kusam warna merah tuanya, ahhh cuma jalan pagi ini, malas aku diary, mengaduk lemari baju mencari sweater putihku yang dibelikan mama dua minggu lalu.

Kemudian aku keluar rumah dan mulailah perjalananku berjalan agak cepat menyusuri jalanan. Seperti biasa juga ruteku kali ini sama seperti hari Sabtu yang lalu, aku keluar dari kompleks perumahanku kemudian menyusuri tepian jalanan yang di samping kiriku adalah dataran landai perbukitan dan aku lihat tanaman kubis yang sudah mulai besar, semakin besar dari hari Sabtu lalu.
Haah iya juga ya, mungkin lain kali akan aku bawa kamu ikut jalan-jalan, ikut merasakan terpaan angin dingin pagi yang sejuk dan segar. Paru-paruku terisi penuh dengan udara bersih perbukitan. Nikmat sekali rasanya.
Okeee selanjutnya, seperti biasanya juga, sesudah aku menyusuri jalan berkelok dengan pemandangan perbukitan dipenuhi pohon perdu yang hijau terhampar luas, diselingi kebun tanaman kubis, ooh itu diaryku, disitu, agak sedikit di atas bukit seberang aku melihat ada pembangunan rumah. Satu lagi rumah akan dibangun, semakin mempersempit pandangan hijauku.

Hnah sampai mana tadi yaa jalan pagiku, jadi ngelantur. Ooo iya, sesudah dua kilo jalur rutinku, aku sampai di warung bu Tinah, dan seperti biasa kan diaryku, belum lagi kepalaku nyelonong masuk ke dalam warung, aku sudah menyapa nyaring bu Tinah yang dari luar warungnya terlihat sedang menyiapkan bubur ayam panas gurihnya. Bau bubur ayamnya itu diary, nyam nyam, keroncongan perutku. Hihihi pasti kamu tidak bisa membayangkan rasa keroncongan, bukankah kamu tidak memiliki perut. Hihihi

Tapi aduuuh baru aku sebut 'Bu Tiii ...!!', tepat ketika itu kepalaku terjulur masuk ke dalam warung bambunya, disitu telah duduk seorang pemuda, aduuuuh my diary, aduuuh badannya ituuu, meskipun dalam posisi duduk di bangku panjang dengan satu tangan memegang sendok persis akan menyuap bubur dan lengan yang satunya bertengger di atas meja, huhuhuhu badannya terlihat tegap atletis. Pasti diaryku, pasti dia penyuka olah raga. Dan dan itu rambutnya, tercukur rapi secenti tersambung dengan bulu kasar di pipi, di bawah hidung menyambung hingga dagunya. Aduuuh terlihat samar bintik-bintik bulu yang tajam.

Terus ini diaryku yang membuat jantungku hampir terlepas, tiba-tiba dia mengangkat kepalanya ketika mendengar suaraku. Duuuh dairyku, aku terlonjak sendiri pada saat itu, aku bertanya-tanya, terlalu keraskah sapaanku, sumbangkah nadaku, paraukah suaraku, huhuhu terkesan seperti gadis bagaimanakah aku yang tanpa menggunakan kata sapa langsung saja memanggil Bu Tinah.
Aku tersadar, aku segera mengalihkan pandanganku ke Bu Tinah dan melemparkan senyumku yang paling manis, paling imut, aku buat secantik mugkin lah hehehe.
Bu Tinah, iiih my diary, sebal aku, Bu Tinah terlihat menahan senyum menyaksikan reaksiku yang tiba-tiba tidak selesai menyebut namanya.

Aku segera duduk di bangku panjang yang letaknya di samping bangku panjang di mana si tampan duduk. Aku segera menyebutkan pesananku tanpa berpikir panjang. Sampai aku lupa menyebutkan tambahan telur sebutir seperti yang sudah menjadi kebiasaanku.
Aku segera, hehe segera lagi ya diaryku, segera mengeluarkan handphoneku dan memencet tutsnya, mencari inbox message, berpura-pura sibuk menerima sms hahaha.
Tahu nggak diary, Bu Tinah lama sekali sih mempersiapkan pesananku, lebih lama dari biasanya, seperti sengaja membuat aku semakin salah tingkah duduk sendirian di bangku kayu panjangnya.
Samar-samar tanpa berani mengangkat muka aku mendengar sendok beradu dengan mangkuk, kemudian sepi lagi, itu sudah pasti pada waktu sendok berisi bubur sedang memasuki mulut si tampan.

Tiba-tiba aku teringat penampilanku. Ingat kan diary, seperti yang aku tuliskan di atas, aku menggunakan sweater butut merah tuaku. Hampir aku menutup wajahku, malu aku, menyesal aku, kenapa juga aku menggunakan sweater gedomboran ini, di mana tshirt lengan pendek yang aku gunakan bersama dengan celana kaosku cukup memperlihatkan lekuk tubuh gadisku.
Hiks, salah lagi kan diary, percuma juga aku menutup wajahku, kan bukan wajahku yang tertutup sweater butut. Menyesaaal rasanya. Pantaskah bila kubuka sweater bututku sekarang?
Sempat terpikir olehku diary. Tapi untuk merubah posisi dudukku saja aku tidak berani, aku tidak ingin menarik perhatian si tampan. Ya sudah, akhirnya aku duduk manis saja sambil berkhayal, menerima sms sepuluh buah, agar terlihat sibuk hahaha.

Akhirnya, semangkuk bubur ayam panas sudah terhidang dihadapanku, yaaah tanpa telur kesukaanku. Aaah bu TInah, sepertinya pura-pura lupa pula dengan kebiasaanku. Ya sudahlah, mana berani aku mengeluarkan lagi suaraku, yang aku tidak tahu, sumbangkah atau melengkingkah suaraku menurut si tampan.
Dengan tetap menunduk, perlahan, perlahaaan sekali diary, agar sendok tidak teradu dengan mangkuk, aku mulai mengambil sesuap bubur. Aduuuh diary, kelupaan lagi, aku belum mengambil kerupuk bulat kecil kuning teman si bubur. Hiks satu lagi kegemaranku yang kali ini tidak bisa aku nikmati. Mana berani aku mengambil kerupuk, stoples kerupuknya berada di samping kiri si tampan ! Bu Tinah ! Teganya dirimu meletakkan stoples kerupuk itu di situ.

Aaah sudahlah, lupakan kegemaranku, aku harus tetap terlihat manis meski sedang makan. IIIh betul diary. Seorang kawan laki-lakiku pernah mengatakan, 'Rin, aku paling suka melihat cewek pada waktu makan, pada waktu dia menyuapkan sendoknya. Menurutku, disitu aku bisa melihat, cantikkah cewek itu'.
Huuus jangan ketawa diary, pada waktu itu akupun spontan tertawa terbahak-bahak, dimana sambungannya ya, menyuap dan cantik, hahaha.
Eeeeh tapi mana kita tahu, siapa tahu si tampan juga memiliki pandangan seperti itu. Kan kan, gawat seandainya aku tidak terlihat cantik karena makan terburu-buru, atau ketika menyuap tiba-tiba sebutir bubur jatuh dan menimpa pinggiran mangkuk. Huah aku tidak ingin terlihat tidak cantik !
Akhirnya berhasil juga aku menyuap dengan perlahan dan mencoba terlihat selalu anggun untuk yang ketiga kalinya, ketika itu si tampan berdiri dan menanyakan ke Bu Tinah berapa yang harus dibayarnya.

Dan kemudian tetap diary, tetap aku hanya berani memandang melalui ekor mataku, aku melihat tubuhnya yang menjulang, tegap dengan celana pendek dan kaus berwarna gelap lekat di tubuhnya, hiks, duuh diary.
Tetap dengan ekor mataku, ketika berpura-pura mengaduk buburku, mengaduk untuk mencari potongan ayam suir, aku melihat transaksi itu. Si tampan, dengan tangannya yang panjang kekar, itu diary, itu tangan dengan bulu halusnya menutup kulit lengannya yang terlihat coklat sehat, uuuh.
TIba-tiba diary, tiba- tiba si tampan berkata 'Mari dek saya duluan, selamat makan'.
Haaah diary, dia menyapaku ! Untuk kedua kalinya jantungku hampir melorot, tanganku terhenti mengaduk bubur.
Mukaku terangkat spontan, dengan mulut tidak terkatup rapat, aku menatap si tampan melewati bangku panjang dudukku yang dengan senyum tampannya menatapku sekejap.

Aduuuh diary, sudah ah ceritaku, aku ingin berbaring dulu dan mengingat kembali tatapan tampannya itu, aku ingin menikmati detik-detik rasa terkejutku, rasa terkejut yang menyenangkan.

Bye my diary. cup cup

***
hai pembacaku, ceritaku kali ini terinspirasi dari perjalananku dengan suami dan teman-teman ke sebuah cafe terpencil di daerah perbukitan sekitar bandung. letaknya tidak jauh dari rumah salah satu temanku. dan dia bercerita, sebelum menikah kegiatan sabtu paginya adalah berolah raga jalan pagi di daerah itu.
mudah-mudahan pembaca bisa turut merasakan senyum geliku ketika mengetik cerita di atas. :)

Wednesday, January 27, 2010

♥ ♥ ♥

Gak terasa 9 hari sudah berlalu, tibalah lagi hari Rabu… hari yang sebenarnya sangat aku nanti2kan… karena gak tau apa sebabnya ‘I Love Wednesday’, mungkin karena sudah beberapa hari lewat dari hari Senin dan mulai mendekati Jum’at.. Jadi kalo hari Rabu tuh,suasana hati tuh in the mood banget deh..

Di awal tahun 2010 ini, bergabunglah aku dengan teman2 yang mengajak berkomitmen untuk menelurkan 1 cerpen setiap minggunya. Ehhh, lha kok ya pas banget aku dapet giliran di hari Rabu. Frankly speaking, aku bermodalkan nekad aja,pas menerima ajakkan ini, aku sangat awam di bidang tulis menulis. Dulu pas sekolah aja,paling gak demen tuh,kalo disuruh nulis karangan, gak tau gimana mulainya,gak tau gimana bikin kerangka ceritanya, gak tau judulnya apa..pokoknya serba gak tau deh. Sekarang aja rada pinteran dikit,pas punya anak,karena gak mau tuh kalo ketauan anakku emaknya gak bisa ngarang, jadi kalo pelajaran Bhs. Indonesia dia, ada pelajaran mengarang,aku ikut andil untuk membantunya membuat karangan.

Pertemuan dengan teman2 penulis ini,berasal dari game online di salah satu situs pertemanan yang memang lagi marak saat ini. Aku merasa sangat senang mendapat teman2 baru di game itu. Teman2 baru itu membuat hari2 aku terasa beda dan tidak membosankan, karena karakter2 baru yang aku kenal. Aku merasa nyaman berada di tengah2 mereka. Sampailah pada satu titik, game itu menjadi membosankan karena mungkin juga kita sudah terlalu excited waktu pertama2 memainkannya. Antiklimaks!!. Tapi aku gak mau pertemanan aku dengan teman2 yg seru2 dari game itu juga berakhir.

Nah, pertama2 diluncurkan ajakkan ini, aku merasa aku harus ikut,supaya aku bisa selalu stay in touch dengan mereka. Aku gak mau keilangan mereka. Apalagi pengajaknya adalah salah satu dari teman2 yang aku kagumi, karena tulisan2 nya selalu membuat aku merasa ‘she’s different’. Ternyata memang dia adalah salah satu penulis handal. ;)). Aku tambah kaguuummm dehhh…

So here I am. Dengan segala usaha dan niat, yg kayaknya sih belon maksimal,berusaha memenuhi komitmen yang ada, agak terseok-seok berusaha mengikuti para penulis2 hebat yang ada di blog itu. Aku senang berada di antara mereka, aku belajar banyak. Kalo bisa malah mau curi ilmunya. Dan suasana fun juga berasa dari percakapan dengan para penulis yg ada. Hehehe. Namanya juga ibu2 kali ya,tiap dikumpulin dimana2, selalu ada aja yg diobrolin. Hari ini, aku bener2 gak terpikir mau nulis apa, berusaha dari kemaren2 sama sekali mandeg, ada aja kesibukkan lain yg membuat aku tambah keilangan ide. Rasanya kok dari kemaren, idenya gitu2 aja..kepengen cari ide yang lain,belon dapet.

Jadi nya,hari ini, entah apa namanya ini, aku hadir dengan sedikit kisahku aja ya… Mudah2an temen2 berkenan. Kalo gak boleh,ya dipotong kelingking juga gak pa pa kok..Pasrah..yang penting aku masih bisa berada di tengah2 kalian semua….

Hugs and kisses dari aku buat temen2 semua…

Tuesday, January 26, 2010

BERHENTI

LANGIT KELAM tanpa rembulan ataupun bintang, gigiku bergemeletuk. Dingin angin yang menusuk tulang memaksaku merapatkan jaket tua yang telah hilang warnanya. Pelan kubuka pagar depan, terdengar decit besi dari putaran engsel yang lama tak bermandikan pelumas. Aku pulang. Tepat ketika tiang listrik bertalu sebelas kali dipukul oleh para petugas ronda malam. Ah, lelah, penat, segala rasa bercampur di pundakku, namun itu semua kan luntur begitu melihat senyum manis istriku.

Bergegas aku masuk, ingin ku bersegera menemuai belahan jiwa- alasan ku hidup. Mencium lembut keningnya, memeluk pinggang rampingnya seraya membenamkan kepalaku kedalam ikal rambut hitamnya yang selalu harum dengan wangi shampoo. Tapi ternyata kudapati engkau tertidur di sofa, dengan TV yang terus menyala menyiarkan program tak bermutu. Ah, hatiku bergetar memandangi wajahmu yang terlelap. Polos. Baru kusadari, sekian lama kujalani biduk pernikahan denganmu, jarang aku memperhatikan wajahmu ketika tidur pulas. Segala sesuatu berjalan begitu cepat diantara kita. Kesibukan dan tuntutan performa kerja yang sempurna menggilas momen-momen bersama kita. Setiap pagi selalu terburu-buru berangkat kerja. Harus cepat. Kemacetan Jakarta begitu memuakkan. Dan malam hari pun sering terpaksa lembur. Nah, momen ini.. momen dimana aku bisa memandangimu tanpa harus terburu-buru.. Rasanya indah sekali. Ingin kuhentikan waktu, agar aku dapat mengagumimu lebih lama lagi, menyesap esensi dirimu semuanya kedalam hatiku. Kamu milikku. Manis. Cantik. Lembut. Pipimu halus tanpa jerawat, matamu lentik dibingkai oleh alis dan bulu mata hitam tebal yang indah. Aku mencintaimu, istriku. Sungguh!

Belaianku membangunkanmu, dan kamu tersenyum. Mengucapkan salam seraya memeluk dan mencium pipiku. Lalu bergegas menuju ke dapur menyiapkan secangkir teh hangat untukku. Tunggu, tunggu sayang. Kali ini, aku tak butuh teh hangat itu, aku hanya butuh pelukan hangatmu. Itu saja. Itu cukup buatku. Buat menenangkan kepalaku yang lelah berkejaran dengan kertas dan negosiasi.

Beberapa biskuit rasa coklat menjadi teman secangkir teh hangat seduhan tanganmu. Engkau menyodorkannya diatas meja, lalu melepas kaos kakiku serta memijat lembut telapak kakiku. Ah, rasanya nikmat. Penatku hilang. Terus sayang, pijat terus kakiku. Lelah sekali tadi menekan pedal kopling mobil. Kuusap lembut rambutmu dan engkau pun membalasnya dengan senyum. Eh, senyum itu.. senyummu itu.. Kenapa aku menangkap ada yang beda dari senyum dan sorot bola matamu? Senyummu sungguh tak tentu. Tawamu terasa palsu. Malam ini ada yang lain darimu, ah bukan hanya malam ini, smeinggu terakhir kamu sungguh berbeda. Terasa rapuh. Iya, kamu tersenyum, namun tidak semanis biasanya. Iya, kamu memelukku, namun tidak seerat malam sebelumnya. Iya kamu menciumku, namun tidak sehangat biasanya.

Aku gelisah, ada yang beda darimu. Tapi aku tak tahu. Apakah engkau marah setelah sebulan penuh ini aku selalu pulang larut? Apakah kamu kecewa karena aku tak pernah menanyakan kabarmu? Oh, istriku.. aku bekerja keras untukmu. Hanya untukmu. Selera pakaianmu diatas rata-rata, koleksi sepatumu itu setara dengan 3x UMR buruh tiap bulannya, pipi mulusmu itu hasil suntikan rutin vitamin C dari dermatoligist terkenal, dan segala hal lainnya. Kamu itu mahal sayang. High maintenance. Tapi aku tak mengeluh. Tidak ada yang terlalu mahal untuk sebentuk perasaan bernama cinta. Dan aku mencintaimu Ya, memang betul dengan gila kerja maka aku cepat mendapatkan promosi untuk jabatan strategis di kantor. Suatu kepuasan dan pencapaian tertentu untuk eksistensi karir. Tapi istriku, semua pencapaianku itu untukmu. Sungguh, hanya untukkmu.

***

Keringat dingin mengalir dari dahi, membangunkanku dari istirahat yang baru dua jam saja aku rengkuh. Kamu, tidur memunggungiku. Istriku, kenapa? Ada apa? Ku balikkan tubuhmu, dan engkau hanya menggeliat saja sambil tersenyum simpul dalam lelapmu. Entah apa yang ada di alam mimpimu. Apakah aku? Kugenggam erat jemarimu, mencoba membaca isi hatimu. Tapi semuanya terasa kelabu. Aku tak mampu lagi melanjutkan tidur. Firasatku berkata ada yang tak beres dengan kamu. Apakah itu? Apa yang kamu sembunyikan istriku? Apa?

Aku dikejutkan oleh dering halus tanda masuknya pesan singkat dari ponselmu. Hemm, ponselmu selalu mati tiap kali engkau berangkat tidur. Namun, kenapa malam ini tidak? Mungkinkah engkau lupa? Siapa pula gerangan dini hari begini mengirimimu pesan singkat? Seperti tidak ada kerjaan saja. Kubuka layarnya, tidak ada nama pengirim di kolom Sender, hanya barisan angka saja.

Sender: +62813*******2

Message: Pagi pacarku, how was your sleep? Muaawh! Peluk mesra.


Deg! Duniaku sepertinya berhenti berputar.

Mami Skunyos
(Eka Situmorang-Sir)

Monday, January 25, 2010

Suspicious Eyes

Gambar diambil dari :
http://farm4.static.flickr.com/3012/2802321481_aef3b78978.jpg?v=1219935176

Topic starter : Rabu, 6 Januari 2010 (10:31 pm)

Sudah tiga hari ini aku merasa matamu selalu mengamatiku penuh rasa curiga.

...


Topic ended : 6 Januari 2010 (11:38 pm)

Saturday, January 23, 2010

Hujan Dedaunan 1

Hari ini angin bertiup lebih kencang dari biasanya. Akan badai sebentar lagi. Aku terpesona oleh intensitas gejolaknya yang mengerikan sekaligus memikat, menakutkan dan memesona, kutuk sekaligus berkat. Sebuah paradoks, bergejolak dalam pikiranku.

Ah, nampaknya aku mulai lagi tenggelam dalam perjalanan mental dan filsafatku, yang begitu sering muncul dalam pikiranku hari-hari belakangan ini. Mereka mengajakku berdialog ttg banyak hal. Hal-hal yang tidak pernah aku pikirkan sebelumnya. Atau tidak ada waktu untuk kupikirkan. Atau tidak berani kupikirkan.

Kata orang, saat menjelang ajal kita dapat merasakan rayapannya. Aku ingin sekali tahu, seperti apakah rasanya? Apakah seperti sepasang tangan dingin yang merayap naik dari ujung jemari kaki lalu menyelimuti seluruh keberadaanku? Lalu.... Setelah itu, apa?

Apakah aku percaya adanya surga? Ya. Ya, rasanya ya, aku percaya, atau aku pikir aku percaya bahwa tempat itu memang ada: surga dan neraka. Tapi aku tidak tahu persis di mana letaknya, dan bagaiman keadaannya. Aku juga tidak tahu jalan menuju ke sana.

Siapakah yang akan memberitahuku? Mereka yang sudah pergi ke sana tidak ada yang kembali lagi untuk menceritakan pengalamannya, atau setidaknya memberi gambaran bagaimana cara mencapai yang satu dan menghindari yang lain.

Saat aku memandang ke luar jendela, kulihat kuncup-kuncup mawar di ambang jendela meliuk-liuk. Rapuhnya..., tapi tidak gugur. Apa rasanya bagi mereka, harus menghadapi badai tanpa memiliki kesempatan untuk melarikan diri? Hmm... Betapa cantiknya. Pun, betapa rapuhnya. Seperti layaknya kehidupan ini.

Aku menyadari bahwa rasanya semakin sulit untuk melihat dan merabai keindahan, kebaikan, kesempurnaan, ketika setiap detik yang aku lewati berisikan ultimatum yang begitu final. Sementara aku, aku belum ingin berhenti berlari. Aku ingin garis finish itu mundur beberapa meter lagi, bahkan kalau perlu, berkilo-kilo meter lagi, karena aku belum ingin berhenti berlari.

Telingaku menangkap bunyi-bunyi basah di luar sana. Ah...akhirnya hujan itu datang juga. Tidak ada yang lebih menyenangkan daripada mendengarkan pola gemericiknya mengguyur atap, sebelum mengalir turun membasahi jendela lalu menyesap jauh ke dalam tanah. Tanah, dimana segala sesuatu sepertinya bermuara.

Dengan ujung jemari aku merabai kaca jendela yang digelimangi air hujan pada tepi luarnya. Kupandangi efek pantulan wajahku di sana. Wajah yang menatapku dari balik kaca jendela itu nampak aneh, karena teksturnya yang dilekukkan oleh gelimangan hujan. Aku merasa seperti peri dalam bayangan itu, begitu dekat dengan keabadian, nyata sekaligus tidak. Benarkah keabadian itu ada, seperti yang selalu mereka katakan? Bila benar, lalu mengapa hatiku merasa gelisah?

Dalam hidupku, hujan selalu mengembalikan kenang-kenangan. Baik kenangan yang manis dan memang ingin kubiarkan mampir, maupun yang pahit dan ingin kutimbun dalam-dalam sehingga tidak dapat melesak ke luar. Namun, hujan selalu saja mampu menggali semuanya, segalanya, dan aku sudah lama belajar untuk berhenti melawan, berhenti berontak, dan belajar menikmati segala rasa yang beradu dalam hatiku. Aku sadar bahwa itulah hidup. Merasakan segalanya. Menjalani segalanya.

***

Dan kenangan-kenangan itu, satu-satu datang melintas.....

***

Hari itu, saat itu, sama seperti hari ini, sore ini. Hujan mulai merebak lalu meluncur dari langit dengan derasnya. Aku keluar dari apartemenku dan menunggunya diujung tangga ketika dari jendela aku melihat mobilnya berbelok menuju jalan masuk kompleks apartemenku. Ketika berlari-lari kecil menaiki tangga menuju ke apartemenku yang berada di lantai dua ini, dia nampak lebih tampan dari biasanya. Aku menghambur ke dalam pelukannya. "Ah sayang, you're wet..., pasti lupa bawa payung lagi." Kataku, walaupun sesungguhnya aku tidak keberatan.

Wajahnya lembab namun bibirnya terasa hangat menyentuh bibirku, saat hati-hati dia mengecupku, takut menularkan basah bajunya ke tubuhku. "Selamat ulangtahun kekasihku.." Bisiknya dengan mata berbicara, dan mataku berbinar karena kami sama-sama tahu bahwa ini bukanlah hari ulangtahunku, bahkan sama sekali tidak mendekati hari kelahiranku. Namun, dia tahu dan aku pun tahu bahwa apabila boleh memilih, aku ingin dilahirkan saat hujan-hujan seperti ini, bahkan hari ini, sehingga segala sesuatu dapat dimulai dari awal lagi.

"Aku senang kamu ada disini,"bisikku ke telinganya saat kami bergandengan memasuki apartemenku.

Hujan turun semakin deras, bagaikan tercurah dari tingkap-tingkap langit yang dibuka lebar-lebar. Aku ingat bahwa saat itu aku sempat bertanya-tanya, sedang marahkah Dia yang menguasai semesta, atau mungkin Ia sedang menangisi hilangnya sesuatu yang sangat dikasihiNya?

Sementara di ruang tengah, aku dan dia duduk berdampingan, dia mengeringkan rambutnya yang seperti tanah basah diluar sana dengan sehelai handuk yang kuberikan, matanya yang panjang dan sipit, seperti sebuah garis hitam tebal di wajahnya yang putih. Sambil mengamati keadaan di luar jendela, sejenak kami diam, menikmati dengan hikmat kemegahan guntur dan kilat yang dipamerkan alam di luar sana.

Lalu, sembari menghirup kopi hangat, kami mulai bicara, dari hati ke hati.

"Kalau aku mati..." Kataku saat itu.
"Ssshh..." Dia menutup bibirku dengan telunjuknya, dan menggelengkan kepala, "Don't say that. Kamu tidak akan mati."
Aku tertawa ringan, pernyataannya terdengar konyol, walaupun penuh cinta, tapi tidak menutupi kekonyolannya. "Kita semua akan mati, Sayang. Tidak ada apapun juga yang abadi di tempat ini. aku tidak abadi, kamu tidak abadi, bahkan hujan, guntur, petir dan kilat di luar sana pun tidak abadi." Kukecup lembut telapak tangannya, lalu kubiarkan dia mengusap pipiku.
"Baiklah. Kalau kamu mati, aku juga akan mati."
Dalam hati aku tergelak, "Gombal.." aku tersenyum geli, "Kamu tidak akan ikut-ikutan mati. Kamu akan hidup, dan menemukan lagi kebahagiaan, mengerti?"
Dia menatap wajahku sangat lama, ada sesuatu di sana yang seakan ingin berkata tetapi kelu. Namun akhirnya dia berkata, "Haruskah kamu sekejam itu?"
"Kejam?"
"Kamu tidak pernah mempercayai ketulusanku."

Saat itu aku mengalihkan pandangan ke luar jendela, mendengarkan bunyi desir hujan memukul atap dengan iramanya yang khas.

"Oohh...lihat!" Kataku kepadanya, "seekor kucing kecil terperangkap," ya, anak kucing itu terperangkap di sela-sela atap gedung sebelah, mengeong-ngeong sedih sebelum akhirnya induknya datang menjemput dan mengangkat anaknya dengan mulutnya untuk membawanya menuju ke tempat aman.

Saat itu, tiba-tiba saja aku merasa sangat merindukan sesuatu, yang aman, yang konsisten, yang akan menopang aku ketika aku jatuh. Kubaringkan kepalaku dipundaknya, mencari rasa aman itu di sana. Dia merangkulku. Kami membiarkan hujan menjadi musik hati kami sore itu.

Bersambung ya..

PS: Buat Indah.. hujanmu dan hujanku, bercerita ttg sesuatu yg mirip ;)

Arisan Krompyang!!!

Sore itu semua peserta arisan sudah lengkap berkumpul di atas tempatnya masing-masing. Berjejer manis dengan tubuh bersih, berkilau, wangi dan kesat. Semua asyik bercakap-cakap mengenai hadiah arisan kali ini. Dan tampaknya semua antusias untuk memenangkannya. Mengingat arisan-arisan yang terdahulu selalu dimenangkan oleh satu pihak yang sama, pihak yang lain menjadi semakin terpacu untuk memenangkan arisan kali ini.

Ketua arisan mulai buka suara. “Ehem..Ehem..!” dia berdehem berusaha terdengar berwibawa. “Sudah bisa kita mulai, ya?” tanyanya kepada seluruh peserta arisan.

Para peserta mengangguk-angguk setuju dan siap mendengarkan ketua arisan membuka arisan malam itu. Sesekali terdengar cekikikan dari arah peserta kembar tapi tak sama di pojokan. Tatapan ketua arisan yang kurang senang akhirnya berhasil membuat si kembar tapi tak sama itu terdiam sambil tersenyum simpul.

“Oke. Malam ini seperti yang sama-sama telah kita sepakati bersama bulan lalu, jangan sampai pemenangnya sama seperti yang sudah-sudah. Arisan kita ini berdasarkan pilihan terbanyak pada cerita yang paling bagus. Jadi saya berharap kali ini kerahkan seluruh kemampuan kalian, gali kembali ingatan kalian dan pilihlah yang terbaik. Walaupun saya juga berharap menang, saya akan tetap memilih cerita terbaik. Tapi mudah-mudahan bukan kamu lagi ya pemenangnya. Maaf lho…” kata ketua arisan itu sambil mengerling pada peserta yang ada di tengah-tengah.

“Gak masalah…Tapi harus jujur ya, kalau ceritaku memang yang paling bagus, kalian harus memilihku lagi. Tidak boleh mentang-mentang aku sudah sering menang, lalu kalian memilih cerita lain yang ternyata kurang mutu” sahut si pemenang berkali-kali itu sambil mencibir pada yang lain.

Kembali terdengar si kembar cekikikan dari pojokan. Si pemenang berkali-kali itu menatap tidak suka pada mereka.

“Oke. Tenang semuanya! Siapa yang mau mulai?” tanya ketua arisan mempersilahkan peserta mulai bercerita.

“Aku duluan ya” terdengar suara dari peserta di ujung kiri yang sejak tadi diam saja menyimak pembicaraan peserta yang lain.

“Baik. Silahkan, Mangkok” ketua arisan mempersilahkan.

Mangkok

Ehem…ini terjadi tadi malam waktu Nyonya sedang jajan bakso dengan teman-temannya di sini. Mereka pakai aku. Lalu Nyonya ngomong begini “Duuuh, punya mangkok dua lusin teteeeep aja berasa kurang. Heran aku. Soalnya aku kalau masak kan banyak, jadi butuh mangkoknya banyak juga. Mana mangkok udah nggak ada yang jual lagi. Maklum koleksi ibuku. Dulu dia dapat dari toko barang antik. Katanya sih peninggalan dinasti apa gitu, yang dari Cina itu lhooo…Harganya itu lho, mahal banget!” begitu katanya.

Hebat kan aku? Dari aku akhirnya bisa pamer kalau punya koleksi antik. Belum lagi pamer kalau masak nggak pernah sedikit. Gimana? Aku menang nih kayanya. He he he…

Gelas (Si pemenang berkali-kali)

Eits, nanti dulu. Dengar ceritaku ya. Seperti biasa ceritaku pasti menang lagi nih. Aku sudah punya firasat baik. Seminggu yang lalu waktu ada acara makan malam dengan keluarga besar Nyonya aku dengar dia berkata “Aduuuh, maaf ya, Cuma pakai gelas biasa. Soalnya semua gelas kristal punyaku baru aja di-polish, jadi takut bahan kimia pembersihnya masih nempel gitu”.
Coba, kurang hebat apa aku? Cerita berawal dari aku yang hanya gelas biasa, akhirnya Nyonya malah bisa pamer kalau punya koleksi gelas kristal. Ha ha ha…Kayanya aku menang lagi nih!

Sendok dan Garpu (Si kembar tapi tak sama)

Belum dengar cerita kita sih! Masih dari acara makan malam seminggu yang lalu dengan keluarga besarnya, Nyonya bicara begini “Kayanya memang kurang lengkap ya kalau jamuan makan seperti ini nggak pake silverware. Sayangnya semua sendok dan garpu perak saya sudah lama. Sudah minta diganti yang baru. Eh, ngomong-ngomong soal perak aku jadi inget sama perhiasanku. Aku udah boseeen banget ngeliatnya. Sama kaya silverware aku itu. Modelnya udah gak oke. Rencananya sih aku mau jual murah aja, terus ganti yang baru lagi. Ada yang minat gak?”

Nyonya memang hebat! Dari cuma kami, Sendok dan Garpu, dia bisa lho menyambungkannya ke perhiasan. Belum lagi soal pamer punya silverware. Dua poin kan? Jadi sudah pasti kami yang menang. Ha ha ha…

Piring (Ketua arisan)

Jangan pada senang dulu, ya! Aku belum cerita. Kemarin waktu makan dengan Tuan, aku dengar Nyonya ngomong begini “Udah, Pi. Nggak usah diangkat ke belakang. Biar pembantu-pembantu kita aja yang angkat dan bersihkan piring-piring ini. Oh ya, Papi belum tahu ya, aku nambah pembantu dua lagi. Soalnya repoooot….Aku banyak urusan!”

Gila kan? Sama suami sendiri aja bisa-bisanya Nyonya menyombongkan diri. Padahal kan Tuan juga pasti tahuaslinya dia? Coba, sampe pamer punya tiga pembantu ke suami sendiri, semuanya berawal dari aku.

oooOOOooo

Krompyang!!! Tiba-tiba mereka dikejutkan dengan suara keras di dekat mereka. Nyonya baru saja menghempaskan setumpuk piring kotor ke dalam tepat mencuci piring sambil menggerutu sendiri.

“Dasar tukang kredit! Baru nunggak cicilan sebulan aja udah koar-koar ke tetangga. Bikin malu! Ini lagi, si Inem pake acara pergi nganterin dua temennya itu ke terminal. Udah bagus dikasih nginep gratis tuh temen-temennya di sini. Eeeh, pergi, main pergi aja! Bersih-bersih dulu kek!” Nyonya tak berhenti mengomel sambil mencuci tumpukan piring kotor itu dengan kasar dan sembarangan.

“Pssst! Jadi siapa yang menang dapat jatah sabun cuci ekstra, nih?” tanya Mangkok kepada Piring.

“Au ah lap!” tukas Piring ketakutan melihat Nyonya membanting-banting piring yang habis dicucinya dengan kasar.

Krompyang!

Thursday, January 21, 2010

namaku adalah

'Brrrr … hiiiih dingin sekali air ini, iiiih dan warnanya terlihat coklat ! Oooh memang kotor sekali aku ini'.


Sembari merasakan dinginnya air yang diguyur beberapa guyuran dari ujung kepala hingga kakinya, dia perhatikan semburan warna yang mengalir di sela kakinya dari air bercampur dengan busa sabun berbuih putih diselingi semburat warna coklat.

Sekali lagi sabun wangi berwarna kuning itu menyentuh kulitnya yang sudah mulai terasa ringan dan lebih segar karena kotoran yang menempel terkumpul dari seharian berkelana berkeliling setengah kota telah luntur bersama busa sabun dan air.



'Mungkin memang inilah jalanku untuk bisa tetap bertahan menyambung nafas di tengah dunia yang tidak ramah terhadapku. Mungkin memang disinilah tempat aku akan ditemukan oleh yang menginginkanku'.



Hanya iitulah yang sekarang ini ada di dalam pikirannya, memasuki hari ketiga dia berkelana menyusuri jalanan sesudah dia memberanikan diri keluar dari rumah yang selama ini ditinggalinya bersama tiga sebayanya. Dia sudah lelah dengan olok-olok sebayanya yang selalu menertawakan dirinya karena tubuhnya yang tidak seatletis mereka.


Selesai sudah dirinya dibersihkan kemudian dengan menggunakan gunting kecil sedikit merapikan bulu-bulu yang menutupi bagian-bagian tertentu dari tubuhnya, dan dilanjutkan dengan lumuran tipis krim pewangi di sekujur badan. Kemudian ditemani seorang laki-laki lemah gemulai dengan rambut tergerai menggantung setengah leher, tanpa kata, hanya dengan menggunakan isyarat tangan si laki-laki menyuruhnya memasuki bilik kecil seukuran dua kali tinggi badannya dan selebar tiga kali panjang tubuhnya. Di dalam bilik kecil bercat kuning dengan gurat gemurat di sana sini ini ternyata sudah berpenghuni.

Setelah saling pandang dan sedikit senyum, si penghuni mencoba menyapa dengan berusaha terlihat tenang tanpa bisa menutupi keadaan sebenarnya yang suram dan menggelisahkan.



'Hai, mari silahkan kau cari sudut yang nyaman untuk berbaring, sebentar lagi makan malam akan datang. Engkau pendatang ketiga di bilik ini, dan aku masih tetap saja kembali lagi di sini'.


Dua penggal kalimat itu sajalah yang terucap, kemudian si penghuni kembali meletakkan kepalanya tanpa menggeser posisi berbaringnya. Dia tidak mencoba untuk menanyakan sebab dan bagaimana si penghuni sampai di bilik kecil ini, otaknya mulai mencoba untuk berandai-andai mengenai nasibnya sendiri.


'Aku tidak ingin berlama-lama di sini, aku tidak ingin seperti dia'.



Esok hari



'Heeeeh disinilah dimulainya petualanganku, disinilah aku harus berani tampil menjual diriku, disinilah aku menentukan nasibku dengan kepandaianku mempertontonkan kelebihanku. Yaaah aku harus berjuang sebaik mungkin untuk mengalahkan yang lain. Duuuh terlihat jelas mereka masih muda, ceria dan lincah. Bagaimana dengan diriku ?? Umurku yang dua kali lipat dari mereka seharusnya aku sudah memiliki tempat nyaman dari hasil jerih payahku. Tidak disini masih harus bertarung menarik perhatian pengunjung !'


Sembari duduk merenungi dirinya di antara sederatan teman-teman senasibnya, yang bersama-sama menanti pengunjung, dia mencoba menemukan kelebihan apa yang akan dipertontonkannya agar bisa menjadi perhatian pengunjung.


Tulit … tulit ..., terdengar bunyi sensor di pintu depan memberitahukan kedatangan pengunjung yang kesekian kali.

Tanpa ucapan tanpa kata, sederetan mereka yang senasib mulai berdiri dari duduknya, berpose semenarik mungkin dengan lenggak lenggok pinggul dan senyum semanis mungkin ditambah pendar mata penuh harap berusaha menggaet perhatian pengunjung.


Setelah melewati dua bilik bersekat diruangan sempit memanjang berbatas kaca bening, sepasang perempuan setengah baya melongok melewati sekat memperhatikan dirinya.

Sembari mempertontonkan kelebihan kegempalan tubuh yang menjadi andalannya, yang menjadi kelebihan dari teman-teman senasibnya ditambah dengan senyum tipis dan kerdipan mata beberapa kali, dia mencoba mengamati sepasang perempuan itu.


'Hmmm, boleh jugalah, setengah baya dengan penampilan yang masih modis. Ditilik dari cara berbicaranya … oooh sepertinya mereka suka dengan diriku! Yaaa pilihlah aku, ambillah aku. Yaaa tunjuklah diriku sepuasmu, telitilah setiap bagian tubuhku !'


Setengah jam kemudian



'Terima kasih … terima kasih aku telah menjadi pilihanmu'.



Berjalan dengan langkah mantap mempertontonkan kelakiannya dia ikuti sepasang perempuan setengah baya yang dengan penuh gairah menggiringnya menuju ke sebuah mobil berwarna putih yang tengah parkir tidak jauh dari pintu masuk.

Seorang sopir membuka pintu belakang dan dalam sekejap dia telah duduk di jok belakang diapit kedua perempuan itu.



Sebentar kemudian perempuan yang duduk di sebelah kirinya mulai mengelus mesra tubuh kekarnya, menggerayang dada dan perlahan jemari bercat kuku merah jambu itu menelusuri hingga pinggang. Elusan perlahan terasa lembut dengan sedikit pijatan menyentuh kulitnya.


Selama perjalanan yang tidak diketahui tujuannya itu dia menikmati elusan sayang dari perempuan di samping kirinya itu sembari si perempuan bercakap dengan temannya mengagumi dirinya yang mereka akui baru mendapatkan setelah menjelajah beberapa tempat semenjak kemarin. Dan setelah melihat dirinya barulah mereka temukan yang sesuai dengan yang selama ini diinginkan.


Di dalam hati dia berkata, 'Baiklah, jika memang aku yang selama ini engkau cari, dengan segenap jiwa ragaku dan ketrampilanku, akan kutunjukkan kemampuanku untuk menyenangkanmu. Sukailah diriku dan aku akan setia menuruti apa katamu'.


Aaah ya, perkenalkan namaku adalah BRUNO stamboom A Basset Hound :)

Wednesday, January 20, 2010

DEADLINE!

“ Rani, maaf hari ini saya harus segera ke Kalimantan, ada proyek yg harus saya cek on the spot, suara Anton terdengar terburu-buru,” Obat untuk Niko ada di lemari di atas kulkas, pesawatku berangkat sebentar lagi ya,paling juga sampai besok,bye.”
“ Baik,Mas, hati-hati.”

Baru saja telpon aku tutup, menyusul dering yang lain, terlihat nama Bayu di layar, dan ini tambah membuatku senewen, “Rani, mana artikel kamu,sudah harus masuk hari ini, kalo tidak digantikan dengan yang lain.”
“Mas Bayu, maaf banget, computer aku sedang bermasalah, tolong tunggu dalam 1 jam ini aku pasti kirim,please?” kata Rani memohon.
“Ya sudah, tapi harus secepatnya ya”
“ Baik,mas”… Duh Deadline!!

Rasanya mau pecah kepala Rani, mana tadi pagi, Siti, pembantunya, baru minta ijin untuk pulang kampng,karena ada telpon yang mengabarkan bahwa bapaknya sakit keras. Mudah2an itu bukan akal2an Siti dan pacarnya…HUhh!!

Rani harus buru2 menyelesaikan artikelnya sebelum Niko terbangun. Karena kalau Niko bangun, boro2 artikel, nafas aja sepertinya harus mencari2 waktu yang tepat. Baru Rani dapat mulai berkonsentrasi dan mulai mengirimkan artikelnya, tiba2,
“Mama.”
Niko terbangun dan sudah duduk di pangkuan Rani sambil mulai bermain2 dengan tuts keyboard dan mouse computer Rani… Duhhh, kalo ada Anton tentu dia bisa sabar mengajak main Niko, Anton memang lebih sabar dalam mengurus NIko dibandingkan Rani. “Niko, ayo mama antar saja kamu ke ruamah nenek.”

Empat tahun yang lalu,saat perkawinan Rani sudah memasuki 7 tahun perkawinan,dan belum memiliki momongan, suatu sore datanglah Nurul sahabat Rani semasa SMA di daerah asal Rani dulu, dia dating ke Jakarta hendak mencari suaminya yg sudah 6 bulan tak ketauan rimbanya,yang katanya bekerja di Jakarta. Nurul membawa bayinya yg saat itu masih berumur 6 bulan. Berbekal hanya alamat Rani,sampailah Nurul di Jakarta, dan tinggal di rumah Rani untuk mencari suaminya yg alamatnya pun tak jelas, hari demi hari tak kunjung bertemu, yang ada hanyalah rasa sayang Anton terhadap Niko, yang tambah hari bertambah lucu dan menggemaskan. Dari situlah awal kedatangan Niko dalam hidupku.

Ya, Niko bukanlah anak kadnungku. Dia anak sahabatku, Nurul, yg akhirnya pulang ke kampong karena suaminya tak jelas rimbanya. Mas Anton yang telah jatuh cinta dengan Niko, berusaha meyakinkan aku, bahwa megadopsi anak yg sudah jelas asal usulnya, tentu lebih baik ketimbang anak yg kita tak tau siapa orang tuanya, setelah melalui perdebatan yg panjang, akhirnya Niko sah kami adopsi menjadi anak kami. Nurul pun sudah merelakannya,karena saat itu dia juga sedang bingung akan masa depan anaknya.

Pagi ini ada konferensi pers penting yang harus Rani liput, membuat Rani sangat sibuk. Suasana tempat konferensi pers yang penuh,membuat para pencari berita harus berjuang untuk dapat mencari posisi dan narasaumber yang tepat, agar beritanya paling menarik,dan dapet paling update. Rani benar2 berkonsentrasi penuh,tak terasa hari sudah hampir petang. Setelah acara tersebut selesai, Rani baru dapat sedikit santai, dan dapat mengecek hp yg dari tadi dalam kondisi ‘silent’. Begitu hp dia buka, terdapat banyak sekali pesan dari Anton,

“ Ran, tadi pagi, saya sudah berpesan agar kamu dapat pulang lebih cepat, karena hari nini Niko berulang tahun, kita sudah janji untuk membawa dia jalan2 smabil membeli robot yang sudah lama dia minta. Tapi dari tadi telpon saya tidak kamu angkat, dan pesan saya tidak kamu balas. Tolong kabari saya secepatnya, Niko dan saya sudah menunggu dari tadi.”

Lemas langsung rasanya sekujur tubuh Rani.

“ Ya Tuhan, bagaimana aku dapat melupakan peristiwa sepenting ini dalam hidupku. Tak henti2 nya aku berdoa pada Mu, untuk seorang anak dari dalam rahimku sendiri, tanpa menyadari bahwa kan anugerah yang sudah ada. Dan anugerah itu bernama Niko. Maafkan aku,Tuhan. Maafkan mama,Niko”
Rasanya Rani ingin segera bisa terbang menemui mereka, sambil terus berdoa agar Anton dan Niko memaafkan dan menunggu dia.

Ini baru benar-benar DEADLINE!!!!

Tuesday, January 19, 2010

Kamu Dan Pertanyaanmu

TITIK PELUH menghias pias wajahmu. Disini, di pangkuanku, engkau terlelap tidur. Nyenyak seolah tanpa beban, padahal baru seminggu sebelumnya badai menghantam hidupmu, eh hidupku juga. Wajah ovalmu polos tanpa tersaput make-up, kamu nampak cantik, gadisku. Sangat cantik. Aku lebih suka kamu disaat seperti ini, tak ada dempul yang katamu berkhasiat menyembunyikan kantong mata, tak ada saputan mubazir serbuk halus berwarna merah di pipi, lha wong pipimu selalu bersemu malu-malu tiap kali ku goda, pun tak ada pemulas bibir senada warna buah saga. Untuk apa sih pemulas itu? Kalau sudah bersamaku, warna itu tentu luntur tergerus lumatanku, jadi lain kali tinggalkan saja gincu itu. Aku suka berlama-lama memandangimu saat seperti ini. Sudahkah kukatakan bahwa kamu cantik ketika tidur? Ketika tak ada make-up sama sekali? Ah ya, sudah kukatakan itu di awal paragraph ini. Maaf, sepertinya aku mulai pikun.

Monday, January 18, 2010

Family Portrait

Gambar diambil dari :
http://www.stressreliefsolution.com/images/White%20family%20on%20beach.jpg
(note : the picture has nothing to do with the below story)

Topic starter : Senin, 4 Januari 2010 (12:25 pm)

Suara itu kembali terdengar, kegaduhan yang sangat kutakuti.

...
~.*.~

In our family portrait we look pretty happy
We look pretty normal, let's go back to that
In our family portrait we look pretty happy
Let's play pretend, act like it goes naturally

"Family Portrait" by Pink

~.*.~

Topic ended : 4 Januari 2010 (1:46 pm)

Saturday, January 16, 2010

Malam Ini Aku Ingat Papaku

iTunes is playing Father And Son by Boyzone

It's not time to make a change
Just relax take it easy
You're still young that's your fault
There's so much you have to know

Find a girl, settle down if you want you can marry
Look at me..i am old but i am happy

I was once like you are now
And i know that's not easy
To be calm when you've found something going on

But take your time think a lot
Why think of everything you've got
For you will still be here tomorrow
But your dreams may not

How can i try to explain
Cause when i do he turns away again
It's always been the same same old story

From the moment i could talk
I was ordered to listen
Now there's a way and i know that i have to go

It's not time to make a change
Just sit down take it slowly
You're still young that's your fault
There's so much you have to go through

Find a girl settle down if you want you can marry
Look at me..i am old but i am happy

All the times that i've cried
Keeping all the things i know inside
It's hard but it's harder to ignore it

If they were right i'd agree
But it's them they know not me
Now there's a way i know i have to go

Papaku adalah contoh sosok paling bersahaja yang pernah kukenal seumur hidupku. Sahaja dalam tindakan maupun ucapan.
Entah mengapa malam ini aku teringat padanya. Jarakku tak jauh darinya. Namun aku merasa rindu padanya malam ini.
Kalau kalian fikir hanya tinggal segerak tangan ke arah pesawat telepon dan aku bisa mendengar suaranya. Percayalah, bukan itu yang aku rindukan.
Papaku tak pernah berucap banyak. Kuingat pernah dia berkata 'Jangan terlalu banyak bicara'. Aku masih belia saat itu dan nalarku tak sepanjang aliran sungai untuk dapat mencerna kalimatnya. Dia pun tampaknya tak ada niatan untuk melanjutkan kalimat itu dengan sebuah penjelasan untuk anak bodohnya ini.
Bertahun Papa biarkan kalimat itu menggantung dan sempat tertimbun hal lain dalam ruang otakku. Sampai hari ini aku merasa rindu padanya dan teringat kembali akan ucapannya. Saat lagu itu mengalun lembut membuai mataku mengajak ke peraduan....

All the times that i've cried
Keeping all the things i know inside
It's hard but it's harder to ignore it

'Keeping all the things I know inside'....Tepat seperti itulah Papaku. Tak ada yang pernah tahu apa yang ada dalam pikirannya. Apakah dia sedang bahagia atau bersedih. Semua sebisanya disimpannya sendiri. Jika kebahagiaan yang menghampiri kami, dia hanya tersenyum dan berucap 'Alhamdulillah'. Tak ada teriakan gembira dan tawa terbahak-bahak. Jika pahit yang tiba pada kami dia hanya diam dan berucap 'Inna lillaahi'. Tak ada ratapan ataupun penyesalan meluncur dari mulutnya. Jika tersakiti hatinya oleh orang lain, dia hanya diam dan istighfar. Tak pernah dia memaki atau menyumpah.

Kadang aku heran, terbuat dari apakah hatinya? Begitu ringannya dihadapi segala sesuatu dalam hidupnya. Seolah tak ada yang dapat membuat hatinya bergejolak emosi apalagi dilanda euforia. Jangan diharap! Sampai akhirnya setahun yang lalu Papa terkena serangan jantung. Kami semua seperti ditampar. Tak ada yang menyangka kalau Papa bisa jatuh sakit tak berdaya. Selama ini bahkan dalam sakit pun Papa tak pernah merintih. Namun kali ini lain. Tentu sangat yang dirasa sakit di dadanya sampai menetes keluar air matanya menahan. Bagaimana mungkin kami tidak melihat gejala awal penyakit Papa? Lihai sungguh Papa menyimpan sakit. Dan kami semua tahu mengapa disimpannya sendiri sakitnya selama ini. Karena Papa adalah Papaku...Papa kami...Yang tidak banyak bicara...Yang tidak pernah mau membuat hati kami susah memikirkannya. Biarlah selama masih bisa disimpannya sendiri, maka tersimpanlah segalanya sendiri dalam dirinya.

Papaku tak akan pernah berubah. Dia akan selalu menjadi Papaku yang bersahaja dalam diamnya. Tapi paling tidak kini aku tahu apa yang harus aku lakukan untuknya. Aku hanya ingin mengajaknya bercakap-cakap. Memancingnya mengeluarkan tawa walau sekilas. Aku tak ingin terlambat. Entah aku atau Papa yang akan pergi lebih dahulu. Yang terpenting waktuku tak terbuang hanya memandang wajahnya dalam diam. Yang terpenting waktuku tak terbuang hanya untuk berkeluh kesah tentang aku, aku dan aku padanya. Aku hanya ingin Papa tahu kalau aku bahagia punya Papa seperti Papa dan mencoba memastikan diri kalau Papa bahagia akan kami, keluarganya.

Pemalas dan Inspirasinya

Status - status di jaringan sosial dunia maya itu terus berubah. Aku membacanya satu persatu. Kadang ada yang seram bertuliskan: "berdarah - darah mendengar lagu demasiv", kadang juga aneh-aneh seperti: "aneh banget yah?". Ada juga yang sok romantis bertuliskan: "kutunggu kau di jembatan yang kemarin". Entah status apa lagi yang lain. Status-status itu nyatanya merupakan salah satu hiburanku tiap harinya.

Hari ini mataku terpaku dengan status update sebuah blog. Judulnya menarik dan membuat aku tidak berpindah mata. Godaan kedua datang saat aku mulai meng-klik link yang tertera setelah judul blog itu. Aku menemukan bahwa itu adalah blog yang berisi tulisan dari berbagai sumber yang berbeda. Aku mulai melihat satu persatu dan mulai tertarik. Maklum, dulu pernah menulis seperti ini dan ternyata halaman itu telah ditutup untuk selamanya.

Isinya menarik dan keren. Aku membaca satu persatu judulnya. hmm.... ingin ku bookmark halaman itu dan kubaca setiap tulisan barunya. lalu jariku pun bergerak ke arah comment. Aku menuliskan apa yang ada di pikiranku itu. Pucuk dicinta gayung bersambut. Ternyata langsung dibalas oleh yang ngepost. Selain itu juga ditawari nulis di sana sambil sedikit mengulang masa itu.

Aku pun tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Kuambil buluh sebatang dan kupotong sama panjang. Maksudnya, kukirim alamat emailku dan menunggu jawaban dari seberang. Aku diundang!

Sesampainya di kos, aku segera membuka laptop ku dan menerima undangan itu. Tantangan mulai tiba. Sekarang aku harus menulis juga di dalamnya. Aku bukan hanya pembaca lagi, tetapi juga diijinkan untuk menyalurkan apa yang ada di kepalaku dalam bentuk tulisan. Aku mulai memutar otak ke kanan, belok kiri, lurus sampai mentok putar balik parkir di sebelah kanan. Jalan buntu. Aku tidak tahu apa yang harus kutulis. Rupanya vakum selama 8 bulan bukanlah hal yang main-main. Otakku tidak selancar pencernaanku lagi. Menulis pun butuh pemanasan. Hatiku pun mulai berpikir dan otakku mulai merasakan sesuatu. Aku perlu inspirasi. Saat-saat seperti ini aku memerlukan sesuatu agar aku bisa menuliskan sesuatu. Sesuatu yang membuat aku dipenuhi ide-ide segar. Sesuatu yang membuat aku menjadi kreatif.

Aha! Aku tahu. Aku telah menemukannya. Aku tahu harus bagaimana. Aku harus tidur dulu. Selamat tidur semua.

H E A D L I N E

Sering kubertemu dengannya di lorong-lorong kota tempat kita tinggal. Berpapasan jalan, lebih tepatnya. Perempuan itu, namanya aku tak tahu, aku hanya menyapanya, "Hai!" atau "Pagi," atau sekedar menggerakan kepala tanpa suara. Dan dia jarang sekali membalas sapaanku, ia lewat begitu saja, sibuk dengan dunianya sendiri yang menempel erat dikupingnya membuat dia bicara layaknya pada udara. Entah apa yang dibicarakannya dengan udara, namun sepertinya mereka terus-terusan berkelahi. Aku tak tahu mengapa, aku suka melihatnya, aku suka mengamatinya, aku bahkan menunggu-nunggu ia jatuh tersandung karena selalu melangkah tanpa melihat jalan. Namun, mengagumkanya!, hal itu tak pernah terjadi. Ia seolah memiliki mata di kakinya sehingga dapat menavigasikan diri dengan baik, bahkan ia tahu kapan harus melompat bila ada genangan air dan ia tak ingin celana panjang yang dikenakannya itu basah oleh genangan hasil air hujan, walaupun, lucunya, ia seringkali tak terlalu perduli pada gerimis yang tentu saja sudah mengirimkan titik-titik basah yang kemudian menempeli rambut, wajah dan bajunya itu. Absurd, pikirku geli sendiri.

Seminggu yang lalu ia menjadi headline pada Koran Pagi kota tempat kita berdomisili. Ya, ya, ya, aku yakin sekali itu wajahnya, yang manis namun jarang sekali tersenyum. Heran, mengapa senyumnya nampak begitu mahal, aku sering heran sendiri. Ada yang salahkah dengan giginya? Ah, tidak, aku pernah melihat dia bicara dengan mulut yang terbuka-buka lebar, entah bicara tentang apa, tapi sampai saat ini aku ingat sekali, giginya bagus dan tertata rapi sekali. Dan di koran pagi ini, ia masuk menjadi berita, Young Entrepeneur Of The Year, begitu koran pagi itu menyebutnya. Di dalam gambar ia nampak menerima sebuah plakat, hanya dengan senyum sedikit saja, seakan berkata, "Yups, saya memang pantas dapat bintang." Dan benar saja, konon kabarnya, begitu tiba di kantornya, plakat itu dimasukkannya ke tempat sampah! Dia bilang, dia tak perlu penghargaan-penghargaan yang hanya untuk gengsi-gengsian, yang dia perlu adalah kerja-kerja-kerja dan memberikan hasil yang nyata!

Ah! Dia memang mengagumkan sekali. Aku merasa agak jatuh cinta pada keagresifannya yang dingin seperti cadas itu.

Karena itu pula aku tertegun, ketika melihatnya sedang duduk bengong seperti bagong kebingungan. Tidak biasanya pikirku. Mana pernah aku punya kesempatan melihat pantat mungil itu diistirahatkan di pagi hari. Ho-ho-ho, sumpeh deh! ini kejadian super langka yang sudah seharusnya aku abadikan dengan kamera, seandainya saja aku membawa kamera. Sayangnya tidak.

Tiba-tiba ia menatap kearahku. Fokus. Seakan ia menyadari bahwa aku ini ada. Setelah bertahun-tahun berpapasan tanpa pernah mengetahui bahwa aku adalah bagian dari manusia-manusia lain yang lalu lalang di lorong gedung ini, akhirnya dia menatapku! Fokus! Menakjubkan! Aku hampir berteriak karena girangnya. Yaiiiy! Tetapi cepat-cepat kutahan diriku dari rasa girang yang keterlaluan sangat itu, sebab tiba-tiba pula aku merasa takut sekali. Bukan, bukan takut, tapi merasa segan. Apa yang akan kubicarakan dengan perempuan hebat ini? Apa yang bisa keluar dari mulutku yang akan membuatnya berpikir aku pantas menjadi kawan bicaranya? Aku menggeleng-gelengkan kepalaku, dan bersirobok pandang lagi dengannya. Ya, ia masih menatapku, matanya nampak seakan mengiba meminta aku mendekat. Hah! Aku mencubit kege-eranku kuat-kuat. Yang benar saja! Rupanya aku sudah berhalusinasi di pagi ini.

Kutekan kuat-kuat rasa ingin tahuku, dan kutekan juga kuat-kuat keinginanku untuk mendekati dan menyapanya, "Ada apa?" Karena aku tak bisa membayangkan ia memerlukan apa-apa. Dia begitu kuat. Begitu kokoh. Dia adalah dia, yang tak dapat kulukiskan cukup dalam berpanjang-panjang kalimat. Dia hanya satu kata saja: dia. Maka kutinggalkan dia duduk di sana, di tempat yang biasa saja bagi orang lain, namun tak biasa bagi: dia. Kuusir sejentik perasaan aneh yang menggangguku. Ah! Semua baik-baik saja. Pastilah! Dan tak kuubah ritme rutinitasku.

Tapi, pagi ini saat ku terima Koran Pagi Kota Kita, dia masuk headline lagi!

"Dia gila! Dia kira dia superwoman!" Jeritanku mengagetkan seisi rumah.

Ya, dia masuk Headline lagi!

Seorang perempuan muda, terkenal dan ambisius, melompat dari ketinggian lantai tujuh sebuah pusat perbelanjaan di kota kita.

Aku terhenyak. "Oh, Tuhan! Dia kira dia punya sayap!" Pekikku masih dengan suara tinggi, sementara tanpa dapat kutahan air-air masin mengalir dari mataku, membasahi pipiku., membayangkan bagaimana dia terbanting keras dengan telak, terbawa oleh gravitasi bumi yang tidak memberikan dispensasi, tak perduli apakah ada hal-hal yang masih bisa dikerjakannya atau tidak, tak perduli apakah akan ada karya-karya cemerlang berikutnya yang bisa dihasilkannya atau tidak. Tubuh mungil itu memang terjerembab tanpa ampun! Lehernya, patah. Kepalanya, pecah, otak yang luarbiasa itu terburai begitu saja, begitu saja! Tak lagi dapat difungsikan seperti seharusnya.

Dan nyawanya? Melayang, meninggalkannya.

Pagi ini aku duduk di kursi makan, menghadapi meja makan, dan sarapan pagi yang belum juga kusentuh, koran pagi dihadapanku, dan hati yang sibuk bertanya-tanya, kalau saja aku sedikit lebih berani menyeberangi jalan kecil sempit diantara kami dan mengambil resiko membuka mulut walaupun akan terdengar dan terlihat bodoh dihadapan perempuan hebat itu, apakah akan ada bedanya? Arrrghhh!! Tiba-tiba aku merasa sangat marah kepada perempuan itu, "Kau gilaaaaaaa!" Raungku sekeras-kerasnya, mengusir pedih yang menusuk tajam, seakan sebuah telunjuk berkuku tajam menusuk nuraniku hingga membelahnya, dengan rasa bersalah tentang sekian detik atau menit atau mungkin jam yang bisa mengubah headline hari ini. "Mengapa kau begitu bodoh?" Keluh mulut ini, "kalau saja aku tahu kamu begitu bodoh, aku tak akan takut mendekatimu dan mungkin menggandeng tanganmu, kalau kau ijinkan, selama yang kau mau, sampai detik-detik kebodohanmu menguap." Dan tatapan menghiba itu menerobos memoriku, hinggap di ruang-ruang celah mataku terpampang sangat jelas. Kini, malah semakin jelas! Aaarggh!!

Sudah terlambat. Pagi ini berita tentang kebodohannya menjadi Headline di Koran Pagi Kota Kita, di saat aku sudah tahu siapa namanya, ia menyentuh deadline.

dia

Aku adalah laki-laki petualang. Entah berapa banyak tubuh-tubuh halus mulus nan indah yang dengan rela kusentuh, demi pundi-pundi rupiah yang menggelembung dikantong mereka. Aku begitu menikmati masa-masa itu, masa dimana para perempuan itu menjadi hamba uang. Uangku. Sampai di satu masa, ku jenuh. Jenuh dengan para perempuan penggila uang itu. Jenuh pada belaian semu perempuan-perempuan yang menggadaikan tubuh demi kemewahan. Kurasakan hampa.


Uang memang hamba yang taat, namun dia adalah tuan yang kejam.

Sampai kutemukan dia.. Wanita cantik, pintar, terpelajar, anggun nan bersahaja. Wanita yang sanggup membuatku bertekuk lutut, sementara banyak gadis tergila-gila padaku (atau uangku -entahlah-). Wanita yang rela menyerahkan kehormatannya yang ia junjung tinggi padaku. Ya padaku. Wanita yang masih slalu kurindukan setelah apa yang kulakukan padanya. Wanita yang mampu membangkitkan segenap hasrat yang terpendam, kembali bergelora. Dimanakah ia kini? Aku tak tau dibelahan bumi manakah kini dia ada. Ku bagai mencari jarum ditumpukan jerami. Dia menghilang.

Egois.
Pembohong.
Tak punya perasaan.
Terlalu!

Dia pasti mengganggapku begitu, setelah apa yang kulakukan padanya. Meninggalkannya, di satu malam menjelang pergantian tahun. Dia pasti membenciku, teramat sangat membenciku. Aku memang egois. Aku memang pembohong. Aku memang tak punya perasaan. Aku memang keterlaluan. Itu semua benar. Bila kau berada diposisinya.

Meninggalkannya, setelah hampir lima tahun menjalin hubungan berkomitment. Demi satu wanita … tengah berbadan dua, yang bukan dari benihku. Tapi tidak! Bukan ini yang dia tahu! Yang ia tahu adalah, aku pergi meninggalkannya, kar’na orang tua tidak merestui hubungan kami (yang ini memang benar adanya, paling tidak, saat itu).

Perempuan itu hamil, memasuki bulan kedua, kala aku memutuskan untuk menikahi perempuan itu. Bukan paksaan papi (seperti yang dia tahu), bukan itu alasan utamanya, mengapa aku memilih perempuan itu, mengapa aku meninggalkannya, padahal aku begitu mencintainya.

Takdir. Ya, aku menyebutnya takdir. Takdir lah yang membawaku pada keputusan. Meninggalkannya. Dikala cinta ini begitu menggelora. Membara. Malam itu, kupergi meninggalkannya dengan segala rasa yang berkecamuk. Pedih. Perih. Sakit. Luka. Ya. Aku pun luka dengan keputusan yang kuambil. Tapi hidup memang slalu mempersilakan kita memilih, dan jalan inilah yang kuambil. Meninggalkannya.

***

Cerita ini, kami simpan rapi. Dibagian hati yang terdalam. Aku. Papi. Mami. Ya. Hanya kami yang tau, yang ingat, yang pedih, yang sakit, mengingat cerita ini.

Ade nama yang kami biasa sapa untuk Adelia. Gadis cantik, riang muda belia. Rambut panjang ikal dengan mata yang selalu berbinar bahagia. Ah…! Masih sesak dada ini mengenangnya. Ade, adikku. Yang begitu ku sayang, yang begitu kulindungi, yang begitu kujaga. Jatuh cinta. Jiwa mudanya yang bergelora, membuatnya hamil diusia belia. 17 tahun. Bahkan SMA pun belum tamat. *Kegagalanku, sebagai abang, yang seharusnya menjaganya, kala papi dan mami terlalu sibuk dengan bisnis mereka. *Kegagalan papi dan mami, sebagai orang tua, yang seharusnya bisa menanamkan nilai2 moral yang tinggi pada kami.

Tapi bukan itu inti masalahnya. Bagas mau bertanggungjawab. Kedua keluarga sepakat menikahkan mereka setelah kelulusan yang saat itu tinggal 2 minggu lagi.

Tuhan merencanakan lain. Bagas, tak bisa menikahi Ade! Pendakian Bagas bersama genKnya di BROMO, adalah akhir cerita Bagas. Anak itu hilang! Lenyap. Raib bagai ditelan bumi. Sampai kini entah bagaimana nasibnya. Hidupkah? Matikah? Entahlah. Namun, bukan itu intinya.

Hhhhhhhhh…tak kuat rasanya dada ini menahan sesaknya. Ade, hampir gila dengan berita itu. Rencana pernikahan menggantung. Perut Ade membuncit. Siapakah yang mau menjadi ayah bayinya? Tak ada. Bahkan supir pun menolak tawaran kami, untuk menutupi aib ini. Ade meradang. Putus asa. Nyaris gila. Hingga akhirnya, kami semua terperanga. Mendapati mata Ade membelalak. Bibirnya kelu. Mulutnya penuh busa. Pil-pil berserakan di lantai. Ade mengahkiri hidupnya!

***

Luka itu kembali basah. Kala keluarga om Bonar datang kerumah, malam itu. Membawa cerita yang nyaris sama dengan Ade. Cerita yang menyayat-nyayat hati. Kala Dian, nyaris mengakhiri hidupnya. Seperti Ade. Ketika Pras (calon suami Dian), harus dipanggilNya lewat suatu kecelakaan tragis, sementara perut Dian pun nyaris kentara berbadan dua. Aku bersedia. Bersedia menjadi ayah bayi itu. Bersedia mengkhianati cinta Inge. Kenapa aku? Kar’na, aku adalah pariban Dian. Aku yang tanpa paksaan mengambil tanggungjawab ini. Agar kisah Ade, tak terulang di keluarga kami. Kar’na, andai dulu ada laki-laki yang mau berkorban demi Ade, rela menutupi aib itu, menjadi ayah bagi bayi Ade, gadis belia itu pasti masih ditengah kami, dengan anaknya yang lucu.

***

“Rumah itu sudah berganti pemilik.” Kata satpam kompleks rumah kawasan elite di Jakarta.
Rumah yang kubeli untuk Inge. Untuk kami.
Rumah itu telah dijualnya.
“Apakah bapak tahu dimana pemilik rumah yang dulu tinggal?”
“Tidak pak, kabar terakhir, Bu Inge pindah ke luar kota.”

Oh Inge... Kemana lagi ku harus mencarinya? Rumah orang tuanya kosong.
Dimanakah dia?


-Adiyanto-

Friday, January 15, 2010

Selingkar Cinta

Aku tidak ingat berapa tepatnya usiaku. Yang masih jelas terpatri dalam ingatanku hanyalah saat pertama aku bertemu dengannya. Aku masih ingat bagaimana senyum bahagianya begitu memukauku. Belum pernah rasanya aku melihat senyum yang demikian berseri dan penuh semangat. Dia memandangku dengan penuh cinta.

Aku masih ingat bagaimana dia menimang-nimangku dengan penuh perasaan. Seolah tak ingin aku jatuh dan terluka. Aku merasa sangat berharga dalam timangannya. Aku begitu menikmati buaian tangan kekarnya. Buaian yang hanya sesaat namun meninggalkan kesan yang begitu mendalam padaku. Aku berani bersumpah kalau aku begitu merasakan cinta.

Sesaat aku berpisah darinya untuk kemudian tak lama aku kembali ada dalam buaiannya. Hanya berselang tiga hari, tangan kekar itu kembali menggenggamku dengan penuh perasaan. Dipandangnya diriku sekali lagi, masih dengan pandangan yang sama saat pertama kami bertemu. Pandangan penuh cinta. Aku berani bersumpah kalau aku begitu merasakan cinta sekali lagi.

Tak lama rasa tangan kekar itu telah berganti dengan sebuah usapan lembut selembut angin senja yang ramah menyapa. Sebuah belaian halus sehalus kepompong ulat yang menjelma menjadi untaian benang sutera. Kupandang wajahnya, cantik rupawan. Pandangan lembutnya memancarkan sinar yang tak asing bagiku. Tak bosan kupandangi rupa indah perempuan itu. Aku berani bersumpah kalau aku begitu merasakan cinta lagi dan lagi.

oooOOOooo

"Kau sudah yakin dengan pilihan hatimu, Nak?" suara Bunda bertanya putra semata wayangnya. Dipandangnya wajah rupawan sang anak yang tengah duduk tegak di hadapannya. 'Ah, kau sungguh replika sempurna kekasihku, anakku' batin Bunda terkenang.

"Aku yakin, Bunda. Rena adalah pilihan hatiku" jawab Pandu, sang putra.

"Sudahkah kau pikirkan perbedaan yang kini mendadak hadir di antara kalian, Pandu? Tidakkah kau berpikir kalau ini bisa menjadi masalah dalam rumah tangga kalian kelak?" tanya Bunda kembali, berusaha mencari secercah keyakinan lain.
"Ingat, kita tidak seperti dulu lagi!" Bunda mengingatkan. Sungguh berat sesungguhnya hati Bunda mematahkan semangat putra tercintanya itu. Namun kenyataan adalah kenyataan. Sesuatu yang harus bisa dihadapi dan ditelan walau pahit. Keadaan ekonomi keluarga mereka yang mendadak jatuh terpuruk sepeninggal Ayah adalah pahit yang harus mereka berdua hadapi dan telan sebisa mungkin. Bunda tak ingin menyeret pihak lain ikut merasakan kepahitan yang sedang mereka rasakan. 'Tidak, jika dia tidak siap' ujar Bunda dalam hati.
Semenjak Ayah berpulang ke pangkuanNya enam bulan yang lalu, segalanya menjadi terbalik. Rumah mewah, berderet mobil, perhiasan kemilau, semua habis. Habis menutupi biaya pengobatan Ayah yang akhirnya tetap mengantarkannya juga ke penghujung usia.

"Rena mengerti, Bunda. Dua tahun kami bersama rasanya cukup membuktikan kalau dia bisa diandalkan dalam senang maupun susah” tegas Pandu.

“Baiklah kalau sudah begitu tetap hatimu” Bunda menyerah masih setengah hati. Hati kecilnya masih meragukan ucapan putranya itu. Walaupun Rena dan Pandu telah dua tahun bersama, namun baru enam bulan terakhir ini Rena merasakan susahnya mempunyai kekasih yang mendadak jatuh miskin.

“Aku mohon Bunda merestui niatku untuk meminangnya, Bunda” pinta Pandu dengan penuh harap.

“Tentu saja Bunda merestuinya, Nak. Selama kau bahagia karena cinta, maka itu juga menjadi kebahagiaan Bunda” jawab Bunda penuh ketulusan.
“Sekarang terimalah ini, karena tinggal inilah benda berharga yang masih tersisa yang Bunda miliki. Semoga Rena mau menerimanya” ucap Bunda sambil menyerahkan sesuatu pada Pandu.
Pandu menerimanya dengan penuh rasa terima kasih. Walau bagaimana benda itu adalah saksi cinta Bunda dan Ayahnya. Pandu sempat berkaca-kaca sebelum cepat dihapusnya air yang hampir mengalir dari kedua matanya.

oooOOOooo

Aku kembali ditimang setelah sekian lama aku terlelap dalam gelap. Kembali aku menemukan pancaran cinta dari sosok laki-laki yang tengah menimangku itu. Namun kali ini aku tidak berani bersumpah kalau aku merasakan cinta dan hanya cinta seperti bertahun-tahun yang lalu. Aku merasakan cinta dan keraguan. Aku merasa diragukan oleh laki-laki ini. Entah mengapa aku sedih.

oooOOOooo

Rena mendorong kotak kecil di atas meja tamunya itu kembali ke arah Pandu.
“Maafkan aku, Pandu. Aku sudah memikirkan masak-masak. Sepertinya aku tidak siap untuk menikah denganmu. Terserah kamu mau bilang aku perempuan tak tahu diri atau materialistis. Aku hanya berusaha realistis pada keadaan kita, keadaanmu terutama. Aku tidak mau menanggung beban hidup berat bersamamu. Maaf kalau aku terdengar kasar. Tapi ini kenyataan dan aku sudah memikirkan dengan matang” Rena menyelesaikan kalimat-kalimat panjang itu hanya dalam satu helaan nafas. Seolah dia sudah menghafal kalimat-kalimat itu sejak lama.

Pandu hanya bisa termangu menatap wajah perempuan cantik di hadapannya itu. Terngiang kembali ucapan Bunda sebelum dia pergi ke rumah Rena untuk melamarnya. ‘Sudahkah kau pikirkan perbedaan yang kini mendadak hadir di antara kalian, Pandu? Tidakkah kau berpikir kalau ini bisa menjadi masalah dalam rumah tangga kalian kelak?’. Kalimat Bunda terus bergaung dalam rongga pikirannya sampai dia lupa untuk menanggapi penolakan menyakitkan dari Rena.

Rena hanya diam menunggu reaksi Pandu. Dia sudah siap dengan kemarahan Pandu. Namun Pandu akhirnya hanya menghela nafas berat dan mengangguk. Mengangguk mengerti akan kenyataan yang sedang dihadapinya kini. Rena bingung melihat reaksi Pandu yang demikian tenang.

“Maafkan aku sudah menyakiti hatimu, Pandu. Tapi tolong mengertilah tentang keraguanku. Aku hanya berharap semoga kamu bisa menemukan penggantiku yang lebih kuat daripada aku” Rena kembali berusaha meminta pengertian Pandu.

“Aku mengerti, Rena. Aku sangat mengerti kini. Terima kasih telah mengatakannya padaku sebelum semuanya terlambat. Terima kasih. Aku pulang sekarang” ujar Pandu seraya beranjak dari tempat duduknya. Tak lupa diselipkannya kotak kecil itu ke dalam saku celananya.

oooOOOooo

Aku kembali berada di tangan lembut itu. Aku kembali melihat sinar mata yang teduh itu. Dan aku merasa bahagia. Entah bagaimana nasibku jika aku sampai ke tangan wanita bernama Rena itu. Aku tak bisa menjadi saksi hidup sepasang manusia tanpa cinta. Aku tercipta karena cinta. Bentukku yang melingkar menandakan bahwa aku adalah lambang cinta yang tak pernah terputus. Aku hanya berharap Pandu kelak bisa menemukan cinta sejatinya dan menyematkan aku di jari manis kekasih hatinya itu. Walau aku hanya sesosok cincin, tapi aku adalah selingkar cinta dua manusia.

Thursday, January 14, 2010

kebersamaan

Pertemuan


Bismillah

Asyhadu An-Laa Ilâha Illallâh

wa Asyhadu Anna Muhammadar Rasulullâh


'Ya Tuhanku terima kasih telah Engkau lengkapi diriku dengan istri yang aku cintai dan kini Engkau tambah nikmatku dengan kehadiran makhluk mungil cantik yang telah aku niati untuk menjaganya hingga akhir hayatku.Bimbinglah aku untuk bisa memberinya hidup yang penuh cinta dan kasih sayang, limpahkanlah rejeki agar aku bisa merawat keluargaku dengan baik.

Amin'


Lima hari semenjak bisikan kalimat syahadat di telinga bayi mungil itu, seorang ayah yang tengah diliputi kebanggan membawa pulang istri dan bayi perempuannya.

Tiada siang dan malam tanpa lepas dari senyum dan tangis si mungil, tanpa gendongan dan tepukan sayang di pundak si mungil. Bergantian ayah dan ibu menyenandungkan lirih nada-nada berirama mengiring lelapan si mungil di ranjang besar tempat mereka bertiga menikmati kebersamaan.


Empat tahun kemudian sebuah sepeda roda dua dengan dua roda ekstra di kiri kanan ban belakang berjalan berlenggok meliuk sebentar ke kiri kemudian ke kanan dikemudikan oleh tangan mungil seorang anak perempuan yang tengah disemangati oleh ayah untuk terus melaju. Tak usah takut terjatuh, ayah akan selalu menjaga sehingga tiada satu ujung tubuhmu bakal menyentuh rerumputan.

Gelak tawa ibu yang tengah menahan nafas dengan kedua tangan memegang mangkuk menanti si kecil melewati dirinya untuk kemudian menyuap sepuluk kecil nasi lengkap dengan lauk sehatnya.

Kebersamaan yang mereka ciptakan setiap sore melewati saat menanti bedug maghrib di halaman rumput sebuah taman bermain persis di tikungan jalan.


Dua belas tahun saat si anak kecil menjelma menjadi gadis perawan ditandai dengan bercak merah mewarnai baju dalamnya, disambut kegembiraan oleh ayah dan ibunya diiringi nasehat tentang martabat perempuan serta penjagaan citra seorang gadis. Penjagaan ayah dan ibu tidak lagi dapat memenuhi dua puluh empat jam kehidupan gadis perawannya yang sudah dimulai dengan kepergian si anak bersama teman-temannya.

Doa selalu mengiringi setiap kali gadis perawannya menyampaikan ijin untuk berkumpul bersama teman-teman.


Tujuh belas tahun telah berlalu sehingga si gadis perawan tumbuh menjadi gadis rupawan pujaan pemuda kota. Menjadi pemandangan biasa beranda di rumah itu merupakan tempat beranjangsana pemuda-pemuda demi menarik perhatian si gadis.

Sekali peristiwa ayah menemui seorang pemuda anak tetangga yang terlalu sering bertandang disambut wajah cemberut anak gadisnya. Demi kebaikan bersama ayah bertutur halus mengenai keberatan anak gadisnya terhadap kehadiran si pemuda yang tidak jua dirasakannya. Sedemikian tertata tutur kata ayah tanpa dinyana merebak merah kedua bola mata si pemuda menahan desakan rasa tanpa ada marah di hati.


Menjelang usia dua puluh dua tahun kebanggan ayah dan ibu semakin membunga di antara sederetan orang tua yang tengah menjadi saksi keberhasilan anak-anaknya meraih gelar sarjana. Senyum bangga, gembira bercampur haru mewarnai ayah dan ibu ketika si anak gadis melenggang cantik menggunakan kebaya biru muda tertutup jubah dan toga hitam mengarah ke panggung pentasbihan gelar insinyur.

Berderet buku di ruang keluarga mengenai bidang pekerjaan yang terkait erat dengan gelar sarjana ayah kini telah memiliki pewaris tunggal. Si anak gadis yang semenjak dini akrab dengan kata dan gambar dari buku-buku itu telah memilih jurusan seperti pilihan ayahnya di saat kuliah.


Dua puluh lima tahun terlewati, ayah dengan kemantapan hatinya menikahkan anak perempuannya dengan seorang laki-laki pilihan si anak. Keyakinan ayah dibulatkannya melepas anak perempuannya ke dalam genggaman seorang lak-laki diiringi doa dan permohonan agar anak perempuannya mendapatkan perlindungan dan kebahagiaan di samping laki-laki pilihannya itu.

Sembah sungkem ucapan terima kasih dan permohonan doa tanpa putus dari anak perempuan dan menantunya meluruhkan hati ayah dan ibu. Isakan halus dari ayah, ibu dan anak mantunya memecah kesunyian sekejap yang hadir menyelimuti ruang ijab kabul di siang itu.

Selesailah sudah tugas kedua orang tua membimbing anak perempuannya hingga hari akhir kebersamaan mereka tertangkup persis dengan hari pertama si anak perempuan menjadi bagian dari sebuah keluarga baru.


Dua bulan tidak lebih, sakit ayah yang sudah terlihat mendera sejak tahun terakhir semakin melemahkan tubuh menjelang tuanya. Kehadiran anak perempuan yang menjadi pelita di masa senjanya kali ini terpotong dengan permohonan ijin si anak mengikuti dinas suami keluar negeri yang membutuhkan kehadirannya di saat jamuan resmi. Hanya lima hari.

Tengah malam di hari pertama si anak perempuan sampai di negara tujuan, telpon genggam berdering nyaring yang dirasakan si anak sebagai pertanda. Suara adik laki-laki ibu yang berat memberitakan kepergian ayah untuk selamanya.

Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un

'Ya Tuhanku telah Engkau panggil kembali ayah yang kucintai sepenuh kalbu, kuikhlaskan kepergiannya kembali kepangkuanMu. Terima kasih atas berkahMu selama ini memberiku orang tua yang telah menyelesaikan janjinya terhadapMu untuk menjagaku sepanjang hayatnya.

Hanya satu ganjalanku, mengapa Engkau jauhkan aku disaat terakhirnya, mengapa tidak Engkau beri aku kesempatan untuk berbisik ditelinganya di saat terakhirnya. Ya aku tahu ya Tuhanku, ada makna di balik semua ini'.


Butir air mata jatuh menimpa telapak tangan bertengadah si anak perempuan.


Perpisahan