Pages

Sunday, December 12, 2010

Kalian Adalah Inspirasi!

Haloooo, perempuan-perempuan cantik penghuni blog ini!
Aku dataaang! Hahahahaa...
I miss you girls sooo much! Huaaaa....
Apa kabar kalian semua? Duh, lama sekali nggak jenguk blog yang cantik ini. Hiks...
Masih ingat setahun yang lalu, kita bikin pakta kelingking. Masih pada inget gak? Aku inget terus lhooo...Sampai sekarang aku masih menganggap perjanjian kelingking kita itu berlaku. Dan sekarang aku lagi ngumpulin cerpen-cerpenku selama setahun ini untuk ditotal jumlahnya supaya genap 52 buah sebagai pemenuhan janji satu cerpen dalam seminggu selama setahun yang dulu pernah kita sepakati.
Nggak tahu kenapa, tiap kali mampir di blog ini dan bicara tentang pakta kelingking kita yang lucu itu, emosiku selalu teraduk-aduk gak karuan. Buatku WT ini adalah my first home. Teman-teman di sini adalah teman-teman dan sahabat-sahabat pertama yang aku temui yang memiliki hasrat yang sama denganku, MENULIS.
So many things had happened this year. Banyak banget yang aku pelajari selama setahun ini, dan semuanya berawal dari sini.
Aku cuma mau bilang terima kasih karena sudah bisa jadi bagian dari kalian di sini. Ini benar-benar pengalaman yang tidak terlupakan buat aku. Pasang surut semangat kita di sini adalah sebuah dinamika kehidupan yang bisa aku petik pelajarannya.
Aku paham sekali banyak yang berhenti tengah jalan dalam melaksanakan perjanjian kita. Dan aku mengerti sekali alasan-alasan kita dibalik itu. Kita tidak hanya hidup di dunia selebar 15 inchi dan maya ini saja. Ada kehidupan sebenarnya yang sedang kita jalani di luar sana. Prioritas mengedepankan yang nyata dari yang semu tentu adalah sebuah pilihan yang tepat. Walau bagaimana aku masih bisa merasakan semangat kita di bulan Desember 2009 lalu waktu kita mulai membuat perjanjian kelingking kita itu. Dan itu masih terasa efeknya sampai sekarang paling tidak untuk aku pribadi.
Aku...hiks..maaf rada lebay nih...aku kok nangis ya nulis ini? Kalian semua benar-benar inspirasi buatku. Begitu banyak langkah maju yang aku buat dalam setahun ini dalam kegiatan menulisku. Semangatku makin menyala dari hari ke hari. Beberapa sudah bisa kupetik hasilnya. Aku sudah menyelseaikan empat buah naskah panjang/novel dalam setahun ini dan entah berapa puluh cerpen yang kuposting di mana-mana. Satu naskah novelku nyangkut masuk 20 besar lomba penulisan novel roman di GagasMedia. Aku yakin sekali, kalau aku tidak mengawalinya dari sini, mungkin belum sampai ke sana hari-hari menulisku. Kalian adalah inspirasi!
Walaupun pakta kelingking kita sudah hampir berakhir 31 Desember 2010 nanti, aku hanya berharap persahabatan kita tidak akan pernah berakhir sampai kapan pun.
I love you...*menghapus air mata*

Wednesday, May 5, 2010

Inginku

Photo: Berlin (koleksi pribadi)

Mentari pagi mengoyak langit biru. Pohon-pohon bertelanjang, menjulur-julurkan lidahnya ke langit. Mereka berteriak, meronta dari pelukan bumi. Lelah menanti musim berganti.

Senin. Pukul 09:00 pagi. Berlin Ostbahnhof. Zafira silver. Dua jam perjalanan terencana menuju bilikku. Aku harus kembali.

Semua rasa menggauli pikiranku. Jemari kiriku sibuk memainkan ujung syal merah yang terlilit seadanya di leherku, aku menyandarkan badanku sepenuhnya pada kursi hitam jangkung tempatku duduk, sementara aku hanya bisa membuang jauh-jauh pandanganku lewat kaca bening disampingku. Bukan hanya sepi tapi juga rindu itu sudah mulai memilu. Gelisah merambat kian cepat.

***

Aku memaksa pikiranku patuh walau hatiku tidak tunduk. Rangkulan malam mungkin sanggup menyamarkan mataku dan menyelamatkan kawanannya, tapi rasaku terlalu dekat dan tak ingin membawaku tersesat.

Dua minggu berlalu. Ya. Dua minggu terasa hanya berganti semalam saja. Entah apa yang telah terjadi dengan bilangan malam-malam. Lalu, kemana pagi, siang dan sore? Aku hanya berani menduga-duga, sang malam menyembunyikannya sebagai sesama kawan.

"Baiklah, mungkin aku harus kembali! Aku memang harus kembali!" ucapku terpatah-patah sembari menatap kedua mata itu, lagi dan lagi.

Dan akupun mengakhiri percakapan singkat hari itu. Malam terakhir yang telah berhasil terguling oleh gundah berhari-hari. Aku tak lagi ingin bertanya. Aku tak lagi ingin angkat bicara. Sudahlah! ucapku meyakinkan diri.

***

Lelakiku. Lelaki yang kucinta. Lelaki yang membuatku tergila-gila. Inginku mengadu pada malam, betapa rasa itu begitu kokoh membendung barisan kata-kata yang ingin kusampaikan. Pertahananku tak cukup ampuh saat kecupmu menyapa, hadirmu terlalu nyata.

Entah bagaimana aku harus memulai. Entah sampai kapan aku baru bisa menyakinkan, kita bukan pemilik cinta, ini. Dan kita harus segera mengakhirinya.


ditulis : 25.03.2010
(yang ditulis dalam perjalanan)


°°°

Saya mencoba kembali menulis disini, ambil jadwal Rabu seperti biasa.

Tuesday, May 4, 2010

Ini Gila!

Rasa itu masih ada. Mungkinkah aku mampu melupakan dia? Dia sangat lembut. Perawakannya yang gagah dan sopan membuat hatiku berdetak kencang. Hari itu hari Rabu, hari pertama pertemuan kami. Pakaiannya berwarna abu-abu. Dulu aku tidak menyukai warna itu. Bagiku, hidup ini hanya hitam dan putih. Tidak ada sesuatu seperti abu-abu. Itu palsu. Itu plin-plan. Itu tidak yakin.

Dia! Dia penyebab semua itu. Kilauan satin yang melekat pada dadanya yang bidang membuat aku merubah jalan pikiranku. Aku menjadi gila.

Dia! Dia akar permasalahannya. Sentuhan tangannya yang kuat dan sedikit kasar. Suaranya yang lembut namun tetap jantan. Saat dia mengatakan namanya, hatiku bergetar. Getaran apa ini?

Tidak! Aku tidak akan jatuh cinta. Cinta itu gila. Cinta itu buta. Hmm... cinta itu tidak nyata. Ilusi. Bohong besar.

Cinta hanya dialami orang yang haus belaian. Tante Ria misalnya, dia hanya butuh sentuhan. Suaminya yang tidak pernah pulang membuat dia dahaga. Aku? Tidak! Aku masih muda. Aku tidak gila. Aku waras. Aku bukan tante Ria.

Aku jatuh cinta. Ya! Salahkan aku! Hati ini berat. Hati ini lebih kuat. Aku berkhianat!

Pengkhianatan yang akan aku sesali selamanya.

Selamanya.

Tante Ria mengajak aku menikmati es krim vanila favoritku. Dia akan memperkenalkan aku dengan partner barunya. Aku tahu laki-laki itu tidak hanya partner. Aku tahu manusia semacam itu. Laki-laki yang hanya menginginkan harta tante. Laki-laki yang haus sentuhan. Laki-laki munafik.

Dia datang, aku berdiri dan menyapanya. Laki-laki yang menjadi partner tanteku. Laki-laki yang dulu menggunakan pakaian satin abu-abu. Laki-laki yang menggetarkan nadiku. Laki-laki favoritku. Laki-laki yang mengoyakkan hatiku.

Sunday, March 28, 2010

Dear Ladies :)

I have a (serious) proposal to offer! Karena some of you already with Klething dan nampaknya di sana jauh lebih cocok kalau untuk menuliskan cerpen2 (yang serius dan personally belong to the writer) sahaja, maka, saya pikir WT lebih patut jadi zona bebas merdeka untuk menuliskan hal-hal lain selain cerpen saja.

Tapi, ada ide yang saya lihat jauh lebih menarik dan fun, ide ini berawal dari status yang pernah ditulis Winda pada wall Facebooknya tentang menulis sebuah novel bersama-sama. Mengapa tidak? Ya, mengapa tidak melakukan eksperimen seperti itu, yaitu keroyokan menulis satu buah cerbung (atau bila panjang bisa jadi novella--novel pendek) secara bersama-sama, setiap orang bergiliran menyambungkan cerbung tersebut di WT ini and let's see apa yang akan terjadi di akhir ceritanya nanti. ;)

What do you think?

Kalau semua bersetuju, saya punya 1 proposal lagi. Kalau Yulie mengijinkan, kisah Adiyanto-Inge-Dian, bisa dilihat secara lengkap di Kelingking Lie, dijadikan cerita awal untuk disambung secara keroyokan, mumpung Yulie bingung mau menyingkirkan dian atau inge, hihihi..

Kisah selanjutnya yang terpikirkan dan saya tawarkan untuk dipertimbangkan adalah, "2 minggu mencari cinta" yang sudah saya tulis di Paragraf. Atau kalau ada yang rela cerita pendeknya yang sudah diterbitkan di WT ini dijadikan cerbung bersama, maka mari kita garap bersama-sama. Dengan demikian, kita bisa melihat seberapa gilanya kah kita dalam merenda kisah tambal sulam? Setiap orang yang sudah terdaftar sebagai Kontributor WT berhak untuk ikut nimbrung menuliskan cerita tersebut. Namun, orang yang pertama menulis cerita (si empunya ide) berhak untuk memangkas dan membentuk kisah tersebut, setelah kisah itu mencapai kata tamat. Saya berniat membuat e-book untuk setiap cerita kontribusi bersama yang sudah tamat, dan akan kita pajang di blog ini.

It is just a suggestion, karena saya melihat yang seperti itu merupakan kegiatan yang menyenangkan, dan lebih ringan, apalagi penulis bisa berhenti kapan saja ide mentok, lalu merelakan kawan berikutnya untuk meneruskan lanjutannya secara bergantian, TAPI yang berhak untuk menempatkan kata "selesai" bagi kisah tersebut adalah orang yang pertama kali memulai cerita tersebut. Dan tidak boleh membuat kisah baru sebelum kisah yang sedang digarap bersama itu tamat.

Think about the fun of it.

Selanjutnya, para kontributor bebas untuk menuliskan hal-hal lain seputar dunia perempuan atau kehidupan sehari-hari, dan tidak pula ada batasan untuk menambah kontributor menulis di Women's Talk. Tidak ada keharusan untuk tetap menjadi kontributor di Women's Talk, juga tidak perlu malu bila tidak produktif menulis lalu tiba-tiba ingin menulis, silahkan saja, tidak perlu merasa terbebani dengan keaktifan kontributor-kontributor yang lain.

That's it.

Winda.. thanks. Dodol itu enak tauk!

Saturday, March 27, 2010

Ya Tuhan, Aku Kangen Sekali Sama Kamu!

Ini sudah hampir bulan April, kawan...
Artinya sudah hampir tiga bulan kita (harusnya) mengarungi tantangan gila kita...
Kamu tahu pasti apa yang aku bicarakan...
Kita awali kegilaan ini dengan semangat membara dan rasa tak percaya diri....
Kekonyolan demi kekonyolan muncul dengan sendirinya...
Lalu kini kita terseok menyelesaikannya...
Masih ada sembilan bulan lagi waktu untuk kita, kawan...
Aku belum mau berhenti...
Aku masih ingin berjuang...
Tapi aku lebih ingin lagi kita bersama seperti dulu kita mengawali ini semua....
Ya Tuhan! Aku kangen sekali sama kamu semua!

Wednesday, March 3, 2010

aku memanggilnya

Pict : tulip disaat musim semi di depan kampus

Pukul 10:00. Aku terburu-buru mencari tau dimanakah ruangan 81a di gedung Beyerbau. Lorong-lorong itu seperti labirin yang tak ada habisnya. Dia seperti berusaha menelanku yang lagi kebingungan pagi itu.

Bangunan berdinding beton. Kokoh dan sudah berumur. Memang layak dijadikan simbol universitas ini, pikirku. Kusisipkan rasa kagum ditengah kepanikanku mencari ruangan tempat orientasi jurusan, di winter semester tahun itu.

"Mein Gott! Terimakasih buat apa yang Engkau percayakan padaku".

Berkali-kali kata itu berdengung kencang menggetarkan jiwaku, saat aku menyaksikan detil gedung itu semakin dekat.

Saturday, February 27, 2010

Pindah

Bagai petir disiang hari, menggelegar keseluruh penjuru, ketika kami mendengar kata demi kata yang keluar dari mulut dokter saat itu. "Tidak ada yang perlu di khawatirkan. Bu Inge, selamat! Anda hamil. Berbagai rasa berkecamuk didadaku. Inge, anak perempuan kami hamil. Hamil tanpa suami."Tidak mungkiiiin...!" jerit Inge histeris.

Bohong, kalau kami tidak sedih. Dusta, kalau kami tidak terpukul dengan kehamilan Inge. Kami kecewa. Aku dan suamiku. Tapi, apa daya kami? Nasi sudah menjadi bubur, dan sampai kapanpun, Inge tetaplah anak kami. Tak'kan pernah berubah. Kalau kami saja tidak bisa menerimanya, bagaimana dengan lingkungan? bagaimana dengan keluarga besar? bagaimana dengan orang lain? Kami berbesar hati menerima Inge. Apa adanya. Kami memaafkan kekhilafannya. Kecerobohannya. Keteledorannya. Maaf yang tulus. Yang murni. Tanpa syarat apapun. Karena kami mencintainya.

Friday, February 26, 2010

Dialog Dengan Si Butut

"Selamat pagi, Jema. Kenapa pagi ini tak kulihat sapaanmu seperti biasa? Biasanya kau mulai hari dengan menyapa seluruh dunia dengan kalimat sapaan andalanmu itu. 'Good morning, guys! Have a nice day! Mudah-mudahan gak kena macet hari ini'. Atau kadang kau menyapa dengan kata-kata penuh nasehat seperti 'Pagi semuanyaaa!!! Semoga hari ini lebih baik daripada kemarin'. Tapi hari ini kamu kenapa, Jema? Jemu?"
"Nggak apa-apa" jawabmu singkat.
"Ah, nggak mungkin! Kamu nggak mungkin melewatkan kesempatan menyapa semua orang, kecuali kalau ada sesuatu yang sangat penting. Jema gitu lho!"
"Lagi males aja!" jawabmu singkat lagi.
"Hmmm...aku tahu. Ini pasti ada hubungannya dengan kejadian semalam, kan?"
"Maksud loh?" tanyamu cepat.
"Hehehe...Ada yang menyindirmu, kan tadi malam? Dia bilang 'Ih, tu orang haus perhatian kali, ya. Tiap menit ganti-ganti status'. Ahahahaaa...aku masih ingat bagaimana kamu seperti kebakaran jenggot tadi malam membacanya.
"Ih, ngapain juga gue mikirin status nggak penting kaya gitu!" sahutmu ketus sambil cemberut.
"Jemaa...Jemaa...Aku tahu persis kamu pasti mikirin. Kan kamu langsung pasang status baru lagi, isinya 'Kenapa tu orang ya? Sirik status gue banyak yang komen kali, ya?'. Hahahaa...ya kan?"
"Weeeeks....nggak juga ah! Gue cuma nggak suka aja sama orang yang beraninya nyindir doang. Kalo berani, langsung aja ngomong di wall gue. Ngapain pake nyindir-nyindir? Hih!" kamu terpancing.
"Naaah, kan..berarti benar kan, kamu kesal baca status orang itu. Tapi, Jem...kamu kok sensitif gitu sih? Kamu kan juga nggak tahu kepada siapa statusnya itu ditujukan".
"Pasti ke gue lah! Ke siapa lagi?" katamu cepat.
"Kok bisa yakin gitu?"
"Ya, pasti ke gue! Itu orang emang dari dulu sukanya cari gara-gara sama gue. Inget gak waktu gue masang status 'Duuh, hari ini mau makan apa ya? Nasi goreng Mang Ucup atau makan di resto mahal aja sekalian? Udah lama nih gak makan enak!'. Eh, nggak lama kemudian dia nongol dengan status 'Masih banyak orang miskin di luar sana yang kelaparan. Malu dong bisa makan di tempat mahal, tapi nggak bisa ngasih sedekah buat mereka!'. Coba! Nyindir gue kan?" katamu emosi.
"Ah, belum tentu juga, Jem. Temannya ribuan, sama seperti temanmu. Siapa tahu dia memang cuma mau berbagi nasehat aja. Kebetulan aja munculnya hampir bersamaan dengan status makan siangmu itu".
"Nggak! Itu pasti ditujukan buat gue! Pernah juga nih ya, gue masang status, 'Kenapa ya Innova gue bunyi-bunyi gini. Padahal baru enam bulan dibeli. Ada yang ngalamin juga nggak?'. Trus dia langsung masang status, 'Banyak orang kaya bermobil mewah di Jakarta, tapi nggak tau gimana cara maintenance-nya. Kasian...'. Kurang ajar, kan?" katamu tambah emosi.
"Lho, ya sama aja kejadiannya seperti tadi kan? Belum tentu dia menujukannya untuk kamu, Jema. Kalau menurutku sih, itu status umum. Siapa aja bisa merasa kalau status itu ditujukan untuk mereka. Lagian kamu juga suka mamer…padahal mobilmu kan sudah lebih empat tahun kamu beli, kenapa kamu bilang baru enam bulan? Biar orang lain mengira kamu punya mobil baru? Sudahlah, Jema....Jangan terlalu terpancing dengan hal-hal sepele seperti ini. Bisa-bisa, sebelum usia empat puluh kamu sudah jantungan".
"Eh, sialan lo ya! Nyumpahin gue lo?" kamu hampir meledak.
"Hahahaa...tenang, Jemaa....Santai...Kamu terlalu teribsesi dengan Facebook-mu. Sebaiknya kamu hati-hati. Kamu ingat kan waktu ada yang masang status, 'Duuuh, kok nggak punya ide mau nulis apa ya? Gimana mau jadi penulis terkenal nih? Baru nulis blog aja stuck'. Lalu kamu dengan sewotnya langsung ganti status kamu juga, 'Gak penting deh segala tulisan-tulisan lo itu!'. Hahahaa...kamu mau ngaku nggak kalau kamu kadang juga suka iseng nyindir orang. Jadi terima aja kalau ada yang menyindirmu juga".
"Ah, nggak ah! Aku nggak nyindir dia, Kalau dia tersindir, ya berarti dia aja yang sensi. Weeeks...." jawabmu mengelak.
"Nah, sama kan berarti dengan kejadian sebelumnya. Status orang lain belum tentu ditujukan untuk kamu pribadi. Please, Jema...hidup mereka tidak terpusat pada kamu seorang. Memangnya kamu siapa? Hahahaha...".
"Eh, gak sopan banget sih lo! Gue nggak peduli sama status-status nggak penting mereka itu ya. Dan gue nggak terobsesi sama Facebook! Ingat itu!" jawabmu dengan nada semakin meninggi.
"Aku setuju kalau kamu bilang kamu tidak terobsesi dengan Facebook. Masalahmu lebih dari sekedar itu. Kurasa kamu terobsesi ingin mendapatkan pengakuan dari orang-orang sekitarmu. Kamu ingin dilihat dan dipandang sukses, walaupun kamu belum ada apa-apanya...Jadi satu-satunya jalan, kamu manfaatkan status di Facebook untuk menaikkan harga diri dan gengsi kamu. Kadang kamu ngomongin mobil kamu dengan kedok kamu seolah-olah mengeluh kalau mobilmu sedang rusak. Kadang kamu ngomongin kerjaan kamu yang super sibuk dan berhubungan dengan orang-orang penting dengan kedok seolah-olah kamu capek banget kerja seperti itu setiap hari. Kadang kamu ngomongin rumah kamu yang asri dan luas dengan kedok seolah-olah kamu kesepian berada di rumah seluas ini. Hahahaa...aku tahu persis kamu cuma mau memperlihatkan pada seribu dua ratus temanmu di Facebook kalau kamu punya mobil baru, punya pekerjaan bagus dan punya rumah besar. Ya kan?"
"Nah, kan sekarang lo yang berprasangka. Gue nggak maksud kaya gitu kok. Tapi ya maaf kalau ada yang menangkap kesan kaya gitu. Bukan salah gue dong!" jawabmu.
"Belum lagi masalah gede rasa kamu yang sudah keterlaluan. Semua status teman-temanmu kamu hubung-hubungkan dengan kamu. Seolah-olah semua status mereka pasti berbicara tentang kamu. Kamu terlalu gede rasa alias GR, Jema! Dan itu kelihatannya makin akut sejak kamu mengenal Facebook. Tidakkah kamu berpikir kalau keadaan ini sudah tidak sehat lagi bagi jiwamu?"
"Eh, jangan sok ceramahin gue, ya! Gue bisa buang lo kapan aja tau! Jadi hati-hati deh kalau menilai orang" kamu kembali meradang.
"Hahahaha..terus kalau kamu buang aku, pakai apa dong kamu update statusmu tiap jam? Kamu kan belum mampu beli Blackberry yang kamu idam-idamkan itu. Ini juga jadi pelajaran buat kamu. Kenapa ketika kamu tidak mampu, kamu tidak share di statusmu? Kamu malu ya belum pake Blackberry. Aku masih ingat bagaimana kamu menyindir teman-temanmu yang memakai Blackberry di status. Kamu bilang, 'Tau BB cuma buat fesbukan. Buat apa?'. Hahahaha...padahal kamu sendiri ingin sekali punya".
"Diem lo, henpon butuuuut!!!!"

Wednesday, February 24, 2010

lak ban hitam di atas Elbe

Picture: Autumn, Hamburg 2009

"Matahari segera terbenam, ayo buruan!"

Suara lembut Lessy yang berjalan sejajarku mengingatkan, sesaat setelah kami turun dari kereta. Langkahku semakin lebar. Tak sabar untuk tiba disana. Dari hari sebelumnya, aku hanya bisa mencipta bayangnya lewat cerita Lessy.

Persimpangan terakhir, di depan toko pakaian anak. Aku mengikuti Lessy menyeberang, lalu berbelok ke kanan. Jalan mulai menurun, dua pasang kaki itupun tak ragu berloncatan. Demi keindahan. Sang penyeimbang rasa. Mengintip matahari sore diatas permukaan Elbe.

Memang, tak terhitung sudah berapa lekukan jalan yang kami telusuri sehari itu di kota Hamburg, tapi aku masih menangkap keriaan diwajah Lessy. Syukurlah!

"Ah. Jalan ini menjemput kenangan masa kecil dulu. Aku rindu!" bisikku membatin.

Awan putih begerak melilit bulan penuh diatas sana, menyisihkan langit biru. Sepasang bola mata menjemput cinta, melingkarkan tangannya mesra. Lepas. Kemudian cukup bergandengan saja. Dua insan itu sedang mengikuti tapakan kecil yang bersanding dengan Elbe, di penghujung musim gugur tahun itu. Keindahan romantisme sore hari terlihat anggun pada tangan yang berayun di depanku.

Sungai. Muara. Laut. Aku tak sedang memikirkan sebutan untuknya. Aku lebih suka meraba rasa dibalik ketenangan permukaannya. Hm. Mungkin sudah tak tertampung luapan rasa yang tertumpah disana. Basah. Dingin. Beku. Riang..pun segala perkawanannya. Saksi bisu atas setiap gelombang pikiran anak manusia yang pernah berlabuh disana. Sayang! Dia tak rela meminjamkan catatannya padaku.

Picture: Elbe-Hamburg, in autumn 2009

"Less, thank you ya sudah bawa kesini! Aku senang sekali. Cantik banget!" ucapku bertubi-tubi, setengah berteriak.

"Ah. dia sudah jauh, tadi aku ngomong sama siapa dong?" aku tertawa meledek diri.

Aku berbalik. Aku mendapati Lessy sibuk bermain dengan kameranya, entah posisi apa yang sedang dia pilih. Sungguh aku tak tahan melihatnya. Haha. Lessy. Aku suka kemaksimalan seperti itu, teman!

***

Indah. Menyenangkan. Ini kali kesekian, aku belajar membebaskan rasa, itu. Tak perlu beberapa. Cukup sedikit tak mengapa. Iya. Aku mengajaknya berkeliaran, diantara riak-riak kecil yang tersapu lembut angin sore. Aku membiarkannya bermanja. Ingin ini. Ingin itu.

"Coba diatas air diujung sana tidak ada lak ban hitamnya. Pasti matahari terbenamnya terlihat lebih lama." komentar Lessy.

"Iya ya Les" aku menimpali dan hanya memaku menikmati keindahan yang ada di depanku.

Oh..tidak! Kemolekan body perahu itu membangunkan Elbe. Menguncang-guncangnya. Dia garang sekali! Hm. Tapi, tunggu! Mereka terlihat cukup akrab. Apakah sungguh karib sejati? Dia terlihat leluasa berkata-kata. Syair dan sajak diperdengarkannya. Sesekali musik jadi-jadian yang dipinggulnya (mesin) ikut serta. Ah. Sahabat! Mereka benar sahabat!

***

"Less, thank you ya sudah bawa kesini! Aku senang sekali. Cantik banget!"

Aku mengulang lagi, setelah memastikan Lessy di dekatku.

Keindahan gradasi matahari terbenam di sore itu, terbias cantik oleh Elbe. Matahari memang sudah lelah. Dia mencari ketenangan sesaat.

"Kita tidak perlu terburu-buru lagi, teman!" ungkap senyumku lebar.

***

Hamburg, Sebuah catatan di musim gugur 2009
Rina-Lessy-me

Tulisan ini terinspirasi saat berburu matahari sore bersama Lessy.
pinjem kata lak ban mu buat judul ya Less..:-)

Special thanks untuk UA dan Lessy untuk inepan berhari-hari, ya!


***

Rujukan:

Elbe itu adalah nama sungai di Hamburg, yang juga mengalir ke Dresden. Dua-duanya merupakan kota yang cantik di Jerman.

Aku suka menikmati pemandangan bulan penuh saat sekeliling masih cukup terang, masih juga bisa menikmati langit biru.
Musim gugur memang cantik.

Tuesday, February 23, 2010

Bermain Dengan Waktu

Suara – suara sumbang itu terus berdengung. Persis seperti dengungan nyamuk di telinga menjelang tidur. Menganggu dan menyebalkan! Mulai dari mengingatkan untuk makan, mandi, membaca hingga nonton TV. Mulai dari nada lembut, kesal, marah, hingga akhirnya datar tak bernada. Kenapa semua orang tiba-tiba begitu memperhatikanku? Begitu peduli? Begitu repot? Apa karena sudah lima hari aku tak membiarkan busa sabun yang wangi itu mengelus kulitku? Atau karena belum sesuap nasi pun melewati tenggorakan ini? Ah, apa karena masai rambut yang belum bercanda dengan sisir? Entah. Hanya mereka yang tahu jawabannya. Karena bagaimana pun mereka bicara, rasanya aku enggan angkat suara. Aku hanya ingin menikmati sebuah benda bulat tak berujung dalam genggaman. Liontin. Liontin emas putih dengan sebongkah batu berkilau diatasnya. Namun kilau itu tidak indah. Kilau itu menyakitkan. Sungguh!

Saturday, February 20, 2010

Waktu

Minggu kedua di tahun yang baru. Hanya mami yang tau, kemana aku pergi pagi-pagi buta. Di hari pernikahanku. "Aku mohon restumu mas." Ucapku pelan. "Jika kelak aku jatuh cinta lagi, itu bukan berarti aku melupakanmu." Janjiku. "Sampai kapanpun, kau akan tetap hidup dalam hatiku". Gumamku lirih. Ku yakin kau mendengar, sepelan apapun suaraku. Kupandangi lekat-lekat pusaramu. Tempat peristirahatanmu yang terakhir, tempat dimana kau dibaringkan. Selamanya. Tak kutemui sosokmu disitu, tapi ku yakin, kau s'lalu ada, entah dimanapun kau kini.

***

Setelah usaha bunuh diriku yang gagal. Mami dan papi akhirnya berbagi luka dengan keluarga Om Bonar. Dan, inilah hasilnya. Bang Adi mau menjadi ayah bayi ini, yang artinya juga menjadi suamiku.

Aku tahu persis hati suamiku. Tak ada aku disana, apalagi bayi dalam kandunganku. Dia menikahiku, karna kasihan. Tapi, itu bukan alasan untuk tidak bersikap baik. Menikahiku, pasti ada banyak hal yang ia korbankan. Namun aku meyakini satu hal, cepat atau lambat, dia akan mencintaiku, begitupun sebaliknya, aku akan mencintainya. Kata mami di hari pernikahanku masih begitu jelas. "Menikahlah sekali untuk selamanya, lakukan bagianmu, selebihnya serahkan pada yang di atas."

Aku berusaha menjadi istri sempurna. Aku berusaha melakukan segala sesuatu sebaik mungkin. Walau aku sadar, manusia tak ada yang sempurna. Namun, tak ada salahnya aku berusaha. Meski kami tidur di kamar yang berbeda, aku tetap menyiapkan keperluannya. Dari sarapan sampai pakaiannya. Suamiku selalu pulang larut malam, menyapaku seperlunya saja. Tapi aku tidak mengeluh. Semua itu sangat wajar, karena pernikahan kami tidak di landasi cinta yang tulus. Tapi, percaya atau tidak, aku belajar mencintainya. Aku berhutang banyak padanya. Berhutang nyawa anakku. Karnanya, kurasa tidaklah berlebihan bila aku membalas semua itu dengan cinta. Cinta yang berusaha kupupuk, meski begitu sulit, karna, suamiku tak memberiku ruang di hatinya. Waktu kan mengubah semuanya. Semoga...

***

Hari ini begitu sunyi. Mina harus pulang ke kampung, karna bapaknya sakit. Jadilah aku sendiri. Bingung harus melakukan apa, bingung harus ngobrol dengan siapa, akhirnya aku terkaget-kaget sendiri, mendapati diriku telah berada dikamar tamu. Kamar suamiku. Duduk di ranjangnya. Ranjang jati dengan seprei abstrak hitam putih. Ranjang yang menjadi bukti ada tembok yang tinggi antara aku dan suamiku.

Entah berapa lama aku dikamar suamiku, hingga getar ponselku membangunkanku. Rupanya aku ketiduran. Telpon dari mami, seperti biasa, menanyakan keadaanku, menanyakan perkembangan janin dalam kandunganku. Hari sudah sore, aku merapikan seprei dan bantal yang berantakan. Dan...

Dibawah bantal, aku menemukan sesuatu. Sesuatu yang sangat familiar. Potret. Potretku! Untuk apa? Ponselku kembali bergetar. Ada pesan dari suamiku. "Dian, bagaimana kalau kita makan diluar malam ini?" Hah? Apakah aku sedang berhalusinasi karna tidur dikamarnya? Kubaca lagi pesan pendek dari suamiku hingga berulang-ulang. Benarkah ini pesan untukku? Tentu saja, ada namaku disitu. Benarkah pesan ini dari suamiku? Entahlah, aku ragu, tapi aku harus memastikannya. Segera ku tekan tombol-tombol huruf yang ada di ponselku "Oke, jam berapa bang Adi pulang? Aku siap". Cukup lama aku menunggu, barulah aku mendapatkan pesan balasan. "Jam tujuh malam ya."

OMG! Pertanda apakah ini? Benarkah waktu telah mengubah semuanya? Aku punya waktu dua jam untuk siap-siap. Aneh. Bingung. Kaget. Senang. Semua campur aduk. Ini adalah kali pertama suamiku mengajakku dinner sejak kami menikah. Semua pakaian sudah kukeluarkan dari dalam lemariku, aku bingung harus memakai yang mana. Perasaan dejavu. Aku pernah mengalami ini dulu, ketika memilih pakaian untuk kencan pertama kali dengan mas Pras. Oh, mas Pras, restuilah aku, bathinku.

Jam tujuh teng. Aku sudah siap. Akhirnya, aku memilih celana blue jins yang masih muat dengan ukuran tubuhku yang sudah naik beberapa kg, dipadu dengan atasan blous putih. Dan suamiku pun pulang...

-Dian-



cerita sebelumnya:


'sendiri'
'kepergianmu'
'dia'
'sakit'
'pusing'

Friday, February 19, 2010

Bocor

Mami menggeliat malas di atas tempat tidur. Sekilas diliriknya jam dinding yang tergantung di atas kusen pintu kamar dengan mata setengah terpejam. Jam enam lebih tiga puluh menit. Mami mengusap-usap matanya masih dengan setengah sadar. Sisa-sisa kantuk masih menggantung di sana. Semalam Mami baru tidur pukul empat karena keasyikan main Facebook. Chatting dengan teman lama. Berbalas komentar-komentar tidak penting. Tertawa-tawa sampai lupa waktu. Dan sekarang sudah pukul…

“Apaa??!!!” Mami menjerit dan terlompat dari tempat tidurnya.

“Jam setengah tujuh? Kenapa alarmnya gak bunyiiii???!!!” jerit Mami sambil bergegas ke dapur.

Ditampungnya air dari keran ke dalam panci besar. Sambil menunggu panci penuh, Mami segera menjerang air minum di panci kecil untuk memasak mi instan, sarapan darurat di kala kesiangan. Ironisnya hampir setiap pagi mereka sarapan ala darurat seperti ini.

“Ya ampuun!!! Kesiangan lagi! Papiii, bangunin anak-anak doong! Ini hari senin, upacara!!” pekik Mami masih dalam kepanikan.

“Duuh, selalu begini deh. Kenapa sih ini mata nggak mau merem kalau malem? Giliran udah subuh baru bisa tidur. Gimana nggak kesiangan melulu!” omel Mami sendiri.

Panci besar sudah penuh. Cepat-cepat Mami meletakkan panci itu ke atas kompor dan menyalakan apinya. Sambil menunggu air untuk mandi anak-anaknya itu matang, Mami kembali berkutat dengan bumbu-bumbu mi instan. Tiga menit kemudian mi goreng instan sudah siap tersaji di atas meja makan. Benar-benar instan!

Mami menarik nafas mengumpulkan energinya kembali. Rasa kantuk masih tersisa sedikit di pelupuk matanya. Ditepuk-tepuknya pipinya sendiri seolah ingin menyadarakan dirinya kalau dia harus tetap terbangun.

“Perjuangan masih panjang, Nyonya!” ucapnya pada diri sendiri.

“Membangunkan anak-anak. Menyuruh mandi mereka. Memakaikan seragam dan sepatu. Menyuruh mereka sarapan. Mengeluarkan mobil. Mengantarkan mereka ke sekolah. Pergi ke pasar. Masak. Nyapu. Ngepel. Nyuci. Nyetrika. Oh Tuhaan!!!” Mami meracau sendiri.

Air di panci besar sudah menggelegak mendidih. Cepat-cepat Mami mematikan kompor.

“Papiii!!! Tolongin Mami doong! Bangunin anak-anak! Ya ampuun, ribet nih kalau sendirian!” pekik Mami sambil mengangkat panci besar berisi air panas itu hati-hati.

Papi menggeliat sedikit mendengarkan keributan yang dibuat Mami dari tadi.

“Iyaaa…” sahut Papi.

Byurr! Mami menuangkan air panas itu ke dalam ember besar dalam kamar mandi.

“Iya, iya, tapi nggak bangun-bangun!” Mami terdengar menggerutu lagi dari dalam kamar mandi. Diambilnya air dari dalam bak mandi dengan menggunakan gayung. Dituangkannya air dingin itu ke dalam ember berisi air panas tadi.

Byurr! Byurr! Byurr!

“Dulu kan kita udah sepakat, kalau punya anak kita harus sama-sama ikut ngurusin. Iya sih, Papi capek cari uang. Tapi kan aku juga capek ngurusin anak-anak di rumah. Sekali-sekali ikut terlibat dong ngurusin keperluan anak-anak sekolah” omelan Mami sepertinya belum bisa berhenti.

Byurr! Byurr! Byurr!

“Mami sih nggak masalah kita nggak punya pembantu. Tapi kan bukan berarti semuanya bisa Mami kerjain sendiri. Tangan Mami kan cuma dua” lanjut Mami lagi.

Byurr! Byurr! Byurr!

“Coba deh sekali-sekali Papi ditinggalin bertiga aja sama anak-anak, bisa nggak? Mami jadi pengen tau! Uuuh….kenapa ni ember nggak penuh-penuh sih?” Mami masih mengomel sambil memperhatikan isi ember yang tidak kunjung penuh itu.

“Ya ampuun!!! Embernya bocoooor!!!” jerit Mami kesal.

“Hahahahaa….” terdengar suara tertawa dari balik punggung Mami. Dua anak Mami yang manis dengan rambut masih berdiri dan mulut masih bau tengah berdiri di depan pintu kamar mandi menertawakan si Mami. Papi juga sedang berdiri di situ tersenyum geli.

“Makanya, bangun tidur berdoa dulu!” kata si sulung tergelak.

“Makanya, jangan main fesbuk melulu!” sambung si bungsu sok tahu.

“Makanya…” Papi tidak meneruskan kalimatnya karena melihat Mami sudah melotot ke arahnya.

Mami manyun. Gara-gara kesiangan? Gara-gara lupa berdoa bangun tidur? Atau gara-gara ember bocor? Yang pasti pagi itu tetap berjalan seperti biasa, penuh kericuhan.

Wednesday, February 17, 2010

Kelopak-Kelopak Mawar Berserakan

Gadis kecil itu duduk terpaku di sudut ruangan kamarnya, yang hanya diterangi oleh sebuah lampu yang bersinar redup berwarna merah, memegang sebilah pisau bersimbah darah. Matanya nanar menatap sesosok tubuh yang ambruk di hadapannya, tubuh besar dengan mulut berbau alkohol. Mati dengan tusukan pisau di sekujur tubuhnya.

Perempuan itu tersentak dari tidurnya, mimpi-mimpi buruk itu selalu datang dalam tidurnya, seperti tak pernah mau pergi. Sebagai seorang hakim terkenal yang selalu memenangkan kasus2 orang yang tertindas. Hakim hebat bertangan dingin yang tak kenal ampun terhadap orang-orang jahat yang melakukan kekerasan terhadap anak kecil dan perempuan. Tak seorang pun pernah tau latar belakang hidupnya. Semua sudah terkubur dengan rapih dan tak ada yana bisa menariknya keluar. Dia adalah orang berbeda dengan gadis kecil berumur 8 tahun, yang ditemukan orang di sebuah gang sempit dengan tubuh penuh luka bekas siksaan pada suatu malam, 27 tahun yang lalu.

Tak ada yang pernah tau, dari mana gadis kecil itu berasal. Hanya sesosok gadis kecil denga tatapan mata yang kosong tapi sarat dengan pernderitaan. Tak ada yang pernah tau betapa gadis kecil itu melewati hari-harinya dengan berbagai siksaan fisik dan mental yang luar biasa. Gadis kecil itu selalu melihat ayahnya pulang dengan mata merah dan mulut yang berbau alkohol, mencaci maki semua orang yang ada di rumah, menganiaya ibunya yang hanya bisa menumpahkan kesedihan dengan berlinang air mata.

Tidak hanya berhenti sampai disitu. Ketika malam menjelang, ayahnya memasuki kamar si gadis kecil yang seharusnya dia peluk dan dia lindungi dari kekejaman dunia, si ayah malah memeluknya dengan nafsu binatang dan mencabik pakaian si gadis kecil itu, lalu menimpanya dengan tubuhnya yang besar dengan kasar. Semua itu berlangsung hampir setiap hari,setiap malam…

Hingga pada suatu malam, si ayah pulang dengan keadaan yang lebih parah dari biasanya. Ketika sudah tidak ada lagi barang yang dapat dijualnya untuk kepentingan dia, langsung dia menghajar si ibu yang sudah terkapar lemah,membuat si ibu tambah tak berdaya hingga tak sadarkan diri, semua berlangsung sangat cepat dan berada di depan mata si gadis kecil itu.

Setelah selesai dengan istrinya, si ayah hendak melampiaskan emosinya ke gadis kecil yang seharusnya masih belum waktunya menghadapi kejadian yang menyakitkan seperti ini. Dia masuk ke kamar si gadis kecil dan langsung menyerbu ke ranjang tempat si gadis kecil itu berbaring sambil ketakutan. Ketika ayahnya mendekat ke dirinya dan menjatuhkan diri ke atas tubuh gadis kecil itu, si gadis kecil menarik sebilah pisau yang sudah dia persiapkan untuk melindungi dirinya. Dia tancapkan pisau itu, ke tubuh orang yang merampas masa kecilnya, yang membuat hidupnya seperti di atas api neraka. Tubuh itu ambruk menimpa tubuhnya. Setelah dapat membebaskan diri dari tubuh besar itu, dia tancapkan lagi pisau itu berulang-ulang ke tubuh besar itu..berulang-ulang hingga tak ada lagi tenaga yang tersisa, berulang-ulang tanpa ada seorangpun yang menghentikannya. Sampai kelelahan yang mebuat ia berhenti.

Semuanya selesai… semuanya gelap…

Malam kita

-Ilustrasi-

Setelah perjalanan panjang, akhirnya kami tiba di parkiran besar salah satu cottage yang menjorok ke pantai. Aku tersenyum membayangkan indahnya beberapa hari kedepan dihabiskan di tempat berangin itu, bersama teman-teman sekolah, yang saat itu sama-sama sedang mengawali karir.

Bentuk atap serta dinding anyaman bambu tempat penginapan yang akan kami pakai, sempat menggiring khayalanku akan manusia kutub sana, tentu saja tanpa anyaman. Aku masuk ke salah satu penginapan itu, interiornya membuatku semakin terpana, tanpa meninggalkan khas Indonesia, sentuhan modern terlihat begitu sempurna. Aku perhatikan setiap persambungannya. Unik. Kata-kata kagumpun kutujukan buat perancangnya!

Anyer. Hampir pukul enam sore.
Long weekend.

Kami mengambil kesibukan masing-masing, membereskan barang, memilih tempat dan ada juga yang mandi. Cahaya keemasan dari lampu di luar sana, menandakan sang malam perlahan menghampiri.

Penginapan mulai sepi, aku mendengarkan suara perempuan dan laki-laki dewasa menyanyi diiringi petikan gitar di luar. Sesekali terdengar gelak tawa memecah keheninganku yang masih tetap memilih tinggal di penginapan. Suara itu lebih sering menenggelamkan syair-syair yang mereka lantunkan. Bahkan, aku harus akui, deburan ombak malam itu seperti tunduk dengan suara kebahagiaan mereka.

Aku menyisihkan gorden merah marun dari kamar serupa bilik itu. Sia-sia aku mengintip ke luar karna hanya menyisakan siluet dari sekumpulan anak muda. Ah. Aku lupa, kacamataku. Aku berusaha menyelipkan kebahagiaanku diantara wajah-wajah mereka, sekejap aku membayangkan dan akupun tersenyum. Aku membebaskan rasaku mengejar tawa mereka. Lepas. Ada keindahan dalam harmoni yang sedang mereka cipta.

"Kenapa kamu di dalam saja? ayo
dong ikut gabung."

Satu orang teman pria datang menghampiri, menyempatkan duduk dan mencuri pandang dengan apa yang tampak di monitor mungil toshibaku saat itu.

"Nanti aku
nyusul, tinggal sedikit lagi."

"Huh. Mana asik liburan bawa kerjaan. Aku juga ingin bebas seperti kalian." Aku mulai jengkel ingat tanggungjawab.

"Sudah. sudah. sudah! Kerjakan saja, tapi kamu tidak takut sendiri?" sambungnya.

Setelah aku meyakinkannya, diapun kembali bergabung dengan teman-teman , sementara aku masih berkutat dengan sang tugas.

"Ah. siapa ini?"
Aku mengeluarkan setengah suara setelah mencium wewangian perempuan mendekat.

Aku menoleh, dia, perempuan berbaju hijau motif bunga-bunga. Aku menatapnya dan memberi respon kehadirannya. Rambutnya yang ikal tergerai panjang dan wajahnya sangat lembut.

"Aku terganggu!"
"Tolong sampaikan kepada teman-temanmu."

Wanita itu meminta.

"Iya."

Jawabku singkat sembari tetap menatap wanita cantik itu. Sampai akhirnya dia pergi.
Ada rasa yang berbeda. Energiku terserap habis, aku mengerti.

Seketika itu juga, aku beranjak menuju ke depan penginapan, dimana teman-teman sedang berkumpul masih dengan suara riuh mereka.

"Eh. ada yang bilang, jangan terlalu berisik!"

Aku berbisik ke salah satu teman. Aku berharap, dia akan mengerti dan bisa membuat suara itu lebih reda.

"Wah..kita datang kesini mau senang-senang, namanya juga anak muda, masak gak boleh berisik?"

Begitu salah seorang berucap setelah teman itu menyampaikan.

Ah. sudahlah. pikirku.
Aku meninggalkan mereka dan berjalan menuju ke penginapan.

Wanita itu kembali menghampiri.
Dan kali ini, aku serius untuk mengingatkan teman-teman. Akupun memberitahu yang sebenarnya.

"Biar saja dia tampakkan mukanya, ngomong sendiri."

Seorang teman setengah membantah perihal yang kuceritakan. Sementara teman-teman lain masuk ke penginapan. Beberapa saat kemudian, betapa kagetnya, dua teman kejang-kejang. Iya, orang menyebutnya "kesurupan" dan salah satu dari mereka adalah yang baru saja angkat bicara.

Segera kami berkumpul disatu penginapan. Para pria mengurusi dua orang teman itu, sementara perempuan, mencoba menenangkan satu sama lain.

Panik!
Keadaan itu seketika membuat semuanya berubah. Malam kita menjadi dingin rasa. Tangisan beberapa teman perempuan membuat suasana semakin tidak karuan.

Yang aku ingat, kami hanya punya doa, malam itu.

***

Ditujukan buat teman-temanku
Mengingat reuni Anyer di tahun (2002)

terinspirasi saat seorang teman cerita tentang kejadian-kejadian aneh yang dialami di rumahnya.


***

Maaf, beberapa tulisanku sempat kusimpan karna pertimbangan2 yang membuatku males untuk berargumen. Dan tulisan ini salah satunya.

Tuesday, February 16, 2010

Tak Ada Judul

Disclaimer: Cerpen ini adalah pengembangan dari cerita sebelumnya yang pernah saya post dua minggu lalu. Ternyata bisa nyambung dengan rangkain cerpen yang sedang saya garap. Dua paragraf pertama akan terasa familiar namun setelah itu dijamin penasaran :D (sok PD hehehe) Semoga tidak bosan ya. Durasinya lumayan panjang. Butuh waktu untuk mencerna dan membacanya ;)



UDARA DINGIN menyeruak ke dalam ruangan tidur kami. Ruang tidur yang berperan ganda sebagai peraduan dan saksi bisu. Ruang ini adalah kawan gelak tawa saat gurau suami terlontar meredakan rajukku. Ruang ini merupakan saksi derai airmata, saat keinginan dan kenyataan tak berjalan seiringan. Ruangan ini jugalah yang meredam lenguh cumbu mesra sepasang anak manusia - catat: sudah halal!


Seiring hawa sejuk yang merasuk tulang, kupandangi wajah belahan jiwa yang terlelap dalam manis buaian mimpi. Semakin kupandangi, perlahan semakin aku mengakrabi perasaan yang dulu pernah ada. Rasa itu lamat-lamat muncul. Rasa sayang yang membuatku sukarela membatalkan rencana kuliah ke negeri Kangguru agar bisa menikah dengannya. Perasaan kasih yang membuatku yakin (tanpa rasa menyesal sedikitpun) untuk berhenti bekerja agar bisa sepenuhnya mengurus rumah tangga. Dulu, dulu semuanya terasa indah. Namun sekarang..., entah apa yang terjadi, sepertinya kami semakin menjauh. Walau raga ini bernaung disatu atap, walau tubuh ini berbagi ranjang yang sama, namun ada jarak yang membentang, hatiku (ataukah hatinya?) mulai beranjak pergi.


Ku raba dadaku dan airmataku meleleh. Ditengah semua rasa ketidakpuasaan pun kesepian ini, kutahu rasa itu... (rasa yang dulu membuatku berkata ya pada lamarannya) masih tergores dalam loh hati ini. Meski telah tertutup oleh minimnya waktu untuk bersama, oleh kurangnya romantisme dan kata-kata cinta, oleh asa dan realita yang tak mampu berkawan, namun yang pasti, aku masih mencintainya. Sungguh!


Bola mataku tertuju ke jam meja di sisi tempat tidur, manakala beker futuristik hadiah kuis di TV itu melakukan tugasnya dengan baik: berdering nyaring. Tanda buatku memulai aktifitas. Ku alihkan pandang. Kudapati sang pangeran membuka matanya pelan, kemudian tersenyum lembut melihatku. Ah, perasaan ini lembut, selembut sutera. Sempat kutangkap perasaan tak tentu dari sorot matanya, seperti rasa galau juga marah dan kecewa. Tapi senyum lembutnya itu mengaburkan gulana dari paras wajahnya.


Tegap dan pasti, Ia beranjak menuju sudut ruangan. Dengan tangan kokohnya menyambar kayu coklat berbentuk aduhai. Elok lekuk tubuhnya. Sementara jenjang lehernya dihiasi enam utas tali yang terlihat rapuh namun memiliki kekuatan luar biasa. Baru kemudian aku tahu tali itu mempunyai merek! d’addario. Dipangkunya sang gitar Spanyol yang oleh pembuatnya diberi nama: Prudencio Saez. Kemudian perlahan ia mengecup keningku dan berbisik lembut, “Kita awali hari ini dengan doa, kali ini kamu pilih lagu pujiannya”.

Aku mengganguk seiring kabut rasa tertolak dan keengganan yang melesak cepat dari hati. Begitu banyak pertanyaan yang berputar dikepala. Membuat pening dan mengaduk-aduk emosi jiwa. Masih layakkah aku untuk berdoa? Masih maukah Tuhan memberikan wajah kudusNya guna memandangku? Masihkah? Derai airmata membasahi pipi. Astaga, maukah Tuhan mendengar seru dari bibir yang telah melumat lidah pria yang bukan suaminya? Tidakkah Tuhan memandang rendah istri yang menyerahkan diri dibelai, dijilati dan disetubuhi kekasih gelapnya? Arrrrrgh! Rasa bersalah itu kian merajalela. Sesak, sesak sekali! Dadaku sesak sekali!! Terus memburu nurani, mencengkeramnya kuat, persis seperti kucing menerkam tikus buruannya. Katakan padaku, masih layakkah aku? Aku tak pantas ada disini, di pelataran Rumah Doa Tuhan. Aku ini kotor! Menjijikkan. Binal. J.A.L.A.N.G. Ya.. silahkan caci aku, boleh kalian memakiku. Perempuan NAKAL yang berselingkuh. Katakan saja sekeras-kerasnya! Jangan hanya bicara diam-diam dalam hati. Bilang! Bilang sekeras-kerasnya!! Oh For God sake! Hakimi aku, hukum aku, jangan hanya diam! Namun semua jeritanku itu tak terdengar, tersangkut di pangkal tenggorokan bersama bulir-bulir air yang menetes.

Ku lihat suamiku tekun berdoa sambil terus memetik dawai gitarnya. Cepat kuhapus airmataku. Tak boleh ia melihatku menangis. Nanti bisa curiga. Untuk sekian waktu aku hanya diam tanpa tahu harus bagaimana, kecuali memandangi wajah khusuknya. Sekejab ia mengangkat wajah dan tiba-tiba tanganku diambilnya. Dan dimatanya kulihat duka. Seperti rasa perih, namun terbalut kasih? Ah, entahlan. Hatiku bergetar. Aku takut. Rasa bersalah ini begitu mendera.

Beberapa tarikan nafas diambilnya lalu pelan kudengar ia berkata,” Aku tahu semuanya.” Pendek kata-katanya, begitu tenang ia bicara namun kata-kata yang pendek itu menghujam jantungku. Dihelanya lagi nafas panjang sebelum ia melanjutkan lagi, “Aku tahu tentang dia.” Bibirku terbuka, kaget tak terkira. Sepertinya... Ah, mungkinkah akhirnya ia telah tahu? Apa yang harus aku katakan padanya? Tidak, tidak, seharusnya ia tidak tahu. Cepat aku menguasai keadaan. Dalam situasi seperti ini aku harus tenang.

“A.. a.. apa maksudmu?” tanyaku. Berusaha menyembunyikan gulana sementara otak ini berpikir keras akan jawaban apa yang harus disediakan. Semoga suamiku tak menangkap getar kebohongan yang merambat dari suara ini. Namun kulihat matanya.. Ah lagi-lagi matanya berselimut duka.

“Ka.. kamu.... mengkianati.... cinta.... kita” ucapnya terpatah-patah dengan mata berkaca-kaca. Walau begitu, tajam ekor matanya menyiksaku. Aku meneguk air liur, dapat kurasakan dadaku berdebar lebih cepat dari biasanya. Telapak tanganku dingin. Sangat dingin.

“Kamu mengingkari janji setia kita di depan Allah, di depan jemaat, di depan keluarga,” tandasnya lagi. Tangannya meremas jemariku. Ku tahu sudut mataku mulai panas. Teringat janji yang kuucapkan di Altar 5 tahun lalu. Kala itu aku bersumpah setia! Hingga maut saja yang memisahkan. Tapi lihat aku, lihat aku sekarang. Ditinggal kesibukan sebentar saja, aku telah berpaling. Rasa bersalah itu kembali datang. Namun, ku keraskan hatiku. Aku tak boleh menangis! Tidak di depan dia!! Aku harus mengelak. Aku harus menyangkal.

“Kamu memberikan tubuhmu yang telah menjadi satu daging dengan tubuhku, kepada orang lain,” ucapnya lagi. Dapat kudengar rasa pahit dalam nada suaranya. Aku menunduk. Tak mampu melihat wajahnya. Dalam diam, makin kukeraskan hati ini. Walau dadaku mulai perih seperti ditusuk ribuan jarum rasa bersalah teringat janji di depan altar! Suci hanya untuk suami!

“Hatiku hancur. Kamu menginjak-injak harga diriku..,” ujarnya lirih. Helaan nafasnya telah bercampur dengan ingus dan air mata. Senyap sejenak.

“Tapi....,” katanya lagi... Aku menunggu ia menyelesaikan kata-katanya.. namun sebelum ia melanjutkan kalimatnya, suamiku menghela nafas panjang. Inhale.. exhale.. Pelan, pelan sekali... Menghirup oksigen kedalam paru-parunya sebanyak mungkin.. Makin kukeraskan hatiku. Aku harus menyangkal. Walau ketika melihat wajahnya saat ini, dapat kurasakan sakitnya. Ah, hatiku pun terasa sakit melihat perih jiwanya. Ditengah bimbang hatiku antara rasa bersalah dan segala tipu daya penyangkalan yang akan kuberikan, kuberanikan diri mengangkat wajah dan melihatnya.... dan mata kami beradu... Ah, mata itu... mata pria yang kucintai itu... Mata pria yang menemani hari-hariku selama ini, mata yang memancarkan cinta. Sementara mataku memancarkan dusta. Kelopak ini makin panas.. aku bingung.. harus bagaimana.. aku sadar aku menyakitinya... Tapi.. tapi.. jika aku mengakui segalanya.. tentulah ia akan murka. Tapi mata itu.. mata suami yang kucintai itu... Mata itu tidak menghakimi, hanya memandang penuh arti. Dan mata itu selaras dengan bibirnya lirih berkata,

“Aku memaafkanmu.” Lalu aku dipeluk. Erat.

Dan pecahlah hatiku. Meledaklah tangisku! Luluh lantak semua kekerasan hati. Aku meraung, deras air mata membanjiri pipi. Aaaah... Aku bersiap untuk segala kalimat menyalahkan untuk terucap dari bibirnya. Aku memang salah, seharusnya aku ini dicaci, dimaki, bahkan kalau perlu dirajam! Tapi kau dengar? Kau dengar itu? Aku... aku.. d.i.m.a.a.f.k.a.n.

Tak percaya ia kan berkata begitu. Pelukannya tulus, hangat nafasnya ditengkukku penuh kasih. Kubalas rentangan tangan suamiku, kuciumi pipinya, ciumku bercampur dengan rasa asin yang bergulung. Dan aku terus menangis hingga airmataku habis. Tanpa mampu berkata-kata.

***

Fajar menjelang di ufuk timur. Dan aku disini. Menikmati denting indah dawai gitarmu dalam peluk hangat cintamu.

Saturday, February 13, 2010

Pusing

Waktu berlalu tanpa dapat di tahan. Bulan berganti baru. Entah dimana harus kucari dia. Wanita yang telah begitu dalam tersakiti olehku. Aku kehilangan arah mencarinya kemana. Maafkan aku Inge.

***

Tidak ada komitmen apa-apa antara aku dan Dian. Semuanya mengalir begitu saja. Tidak ada pembicaraan mengenai apakah pernikahan ini hanya sementara sampai Dian melahirkan, atau hal lainnya. Aku tidak pernah cerita soal Inge padanya. Begitupun sebaliknya. Dian tak pernah membicarakan Pras padaku. Entahlah, membicarakan hal itu seolah begitu tabu.

Kalau saja benih yang ada dalam kandungannya itu benihku...! Kalau saja Dian adalah Inge...! Kalau saja aku bisa mencintai Dian seperti aku mencintai Inge...! Kalau saja Dian bisa mencintaiku seperti dia mencintai Pras...! Pusing aku!

Tak pernah ada air mata kulihat di sudut-sudut matanya. Tak pernah ku dengar isak tangisnya. Tak pernah ia mengeluh tentang sikapku. Ku yakin, semua pedihnya ia simpan rapi, mungkin ia mau semua itu hanya menjadi miliknya sendiri.

Dian baik. Terlalu baik malah. Dia berusaha menjadi istri sempurna. Itu yang ku lihat. Padahal, aku bukanlah suami yang baik. Hampir tidak ada waktuku buatnya. Aku selalu sibuk kerja. Selalu pulang larut malam. Dian terlalu sering sendirian di rumah. Sejak kami pindah ke rumah kami sendiri, hadiah pernikahan orang tua kami, hanya ada Mina yang menemaninya, pembantu kami.

Aku tidak pernah menyentuhnya. Sampai saat ini. Aku tidur di kamar tamu, sementara Dian tidur di kamar utama. Padahal Dian cantik. Terlalu cantik malah. Aku bahkan terlalu sering tergoda. Tergoda untuk menyentuhnya. Wajarkan? Aku suaminya. Dian istriku. Kami resmi di mata hukum. Kami sah di mata agama. Dengan perut yang semakin membesar, entah mengapa semakin menambah pesonanya. Itu menurutku. Akh...! Sebentar lagi, aku akan menjadi ayah. Ayah dari bayi yang bukan benihku. Bayi dari wanita yang tidak ku cintai. Benarkah?

Ku ambil ponsel di atas meja kerjaku. Dengan cepat ku tekan huruf-huruf yang ada di ponselku. Pesan pendek untuk istriku. "Dian, bagaimana kalau kita makan diluar malam ini?"
Berbagai rasa bermain, menari-nari dalam dadaku. Apakah jawabannya? Tidak sampai lima menit, aku sudah menerima pesan balasan. "Oke, jam berapa bang Adi pulang? Aku siap". Deg! Ada perasaan aneh menjalar kesekujur tubuhku. Ini pertama kalinya aku mengajak Dian dinner sejak kami menikah tiga bulan lalu.

-Adiyanto-


rangkaian cerita sebelumnya:
'sendiri'
'kepergianmu'
'dia'
'sakit'

Thursday, February 11, 2010

Si Lincah, Si Jangkung Dan Si Tenang Menghanyutkan



Si Lincah memang lincah sesuai panggilannya. Tidak bisa diam walau sesaat. Kerjanya selalu sama dari waktu ke waktu. Berlari berputar-putar menelewati si Jangkung dan si Tenang Menghanyutkan, dua sahabat dalam perputaran hidupnya.
Tiap kali si Lincah melewatinya, si Jangkung hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Lincah! Takbisakah kau tenang sedikit? Berhentilah sejenak. Sampai capai aku melihatmu berlari berputar-putar tak ada hentinya" teriak si Jangkung kepada si Lincah yang sudah berlari menjauh darinya.
"Hahaa...maaf, kawan. Aku tak mungkin berhenti. Kau tahu apa jadinya kalau aku berhenti berlari. Dunia kiamat, kawan!" seru si Lincah dari kejauhan sambil tertawa riang dan terus berlari.
"Bukan itu maksudku...." si Jangkung tidak meneruskan kalimatnya, karena dilihatnya si Lincah sudah semakin jauh darinya.
"Ah, nanti sajalah aku katakan padanya kalau dia sudah sampai di sini lagi" ujarnya pada diri sendiri sambil tidak lupa menggeser sedikit posisi duduknya akibat terkena senggolan si Lincah barusan.
Tak lama si Lincah muncul kembali, masih berlari.
"Kau mau bilang apa tadi, kawanku?" dari kejauhan dia sudah berseru kepada si Jangkung. Si Jangkung sempat terperanjat tak menyangka si Lincah begitu cepat kembali ke tempatnya lagi.
"Maksudku, tak bisakah kau perlambat sedikit larimu, Lincah? Kau benar-benar menyusahkan. Tiap kali kau melewati aku, pasti kau senggol aku sampai aku harus menggeser dudukku setiap saat" kata si Jangkung cepat-cepat sebelum si Lincah menjauh lagi karena tidak berhenti berlari.
"Ohooy...itu rupanya! Maaflah, kawan...tak ada maksud untuk mengusik dudukmu. Aku hanya ingin menolongmu sedikit demi sedikit dengan cara menyenggolmu itu" jawab si Lincah penuh arti, masih sambil berlari.
"Menolongku bagaimana?" tanya si Jangkung penasaran ketika dilihatnya si Lincah telah muncul lagi mendekat ke arahnya sambil berlari.
"Supaya kau cepat sampai ke tempat pujaan hatimu itu, si Tenang Menghanyutkan. Wahai, jangan berpura-pura, kawan. Kalian sungguh pasangan yang manis. Malu-malu tapi mau. Untuk mendekatpun harus aku yang mendorongmu ke arahnya. Hahaaay..." goda si Lincah sambil terus berlari.
Si jangkung tersipu sejenak mendengar ocehan sahabatnya barusan. Teringat pertemuan terakhirnya dengan kekasih hatinya, si Tenang Menghanyutkan itu beberapa saat yang lalu. Tiba-tiba si Jangkung menjadi tidak sabar ingin segera berjumpa kembali dengannya. Rindunya kembali menyeruak. Si Jangkung mendadak merasa beruntung si Lincah telah berlari begitu cepat. Semakin cepat si Lincah berlari, bukankah semakin cepat dia akan bertemu dengan kekasihnya itu?
"Lincaaah! Tak bisakah kau berlari lebih cepat dari biasanya? Dan kau boleh senggol aku lebih keras mulai saat ini. Agar lebih cepat aku sampai di tempat kekasihku itu" kata si Jangkung ketika si Lincah kembali muncul di hadapannya.
"Ohohohoo..itu tak mungkin, kawan. Kecepatanku tetap dan akan selalu tetap. Lagipula, tidakkah kau dengar ucapan orang-orang mengenaiku belakangan ini?" tanya si Lincah dengan nada sedikit kesal.
"Apa maksudmu?" tanya si Jangkung tak mengerti.
"Mereka seperti menghakimiku karena merasa tidak punya waktu cukup untuk melakukan semua kesibukan-kesibukan mereka itu. Menurut mereka itu gara-gara aku yang berlari terlampau cepat. Kenapa aku yang disalahkan?" Lincah menjelaskan panjang lebar menumpahkan kekesalannya sambil terus berlari.
"Ya! Kenapa pula kau yang disalahkan?" tanya si Jangkung tak kalah herannya.
"Mereka yang harusnya bergerak lebih tenang. Menikmati setiap langkah yang mereka ambil. Menghirup lebih dalam nafas yang mereka hirup. Memandang lebih jauh keindahan yang ada di depan mata mereka. Tapi apa? Mereka justru tenggelam dalam kesibukan. Demi apa kata mereka? Tuntutan hidup? Aah...persetan alasan itu! Hidup tidak menuntut. Hidup itu untuk dinikmati. Orang-orang aneh atau jaman yang semakin gila!" maki si Jangkung lebih kepada dirinya sendiri.
"Apa maksudmu, kawan?" tanya si Lincah ketika sampai di dekat si Jangkung kembali.
"Maksudku, dulu rasanya tidak segila ini. Orang-orang tidak bergerak secepat ini. Mereka tetap bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, tapi semua dilakukan dengan penuh kenikmatan. Tak ada yang berteriak-teriak 'aaah, waktu satu hari tidak cukup bagiku!'. Ya kan?" si Jangkung kembali berceloteh panjang sambil celingukan mencari wujud si Lincah yang sudah kembali menjauh dari hadapannya.
"Sudahlah, tak usah banyak bicara, kawan. Sebentar lagi kau akan sampai di tempatnya. Tinggal satu senggolanku lagi, dan kau akan bertemu dengan kekasihmu itu, si Tenang Menghanyutkan. Bersiap-siaplah!" kata si Lincah kembali riang.
Dan benar saja, begitu melewati si Jangkung, disenggolnya sedikit sahabatnya itu dan berjumpalah dia dengan kekasih hatinya itu, si Tenang Menghanyutkan.
"Wahai, kekasihku. Senang sekali rasanya bisa bertemu lagi denganmu, sayangku. Seandainya kita bisa tetap di tempat ini bersama-sama selamanya" sapa si Jangkung berseri-seri sambil memeluk kekasihnya itu dengan penuh kerinduan.
"Itu sungguh tidak mungkin, pangeranku. Seandainya kita diam di sini, maka dunia kiamat. Bukankah begitu?" kata sang kekasih sambil tersenyum manis.
"Seandainya kiamat itu datang, aku ingin berada di sini bersamamu, sayang. Tepat di angka dua belas ini. Dimana kita bisa saling berpelukan seperti sekarang ini. Tapi si Lincah harus terhenti di angka tiga atau enam saja sekalian, supaya dia tidak menghalangi kita" ujar si Jangkung sambil tertawa geli.
"Hey! Aku dengar yang kau ucapkan barusan, kawan!" seru si Lincah dari kejauhan.
"Hahaaa...maaf, kawan. Tapi tidakkah kau risih jika sampai kiamat itu datang dan akhirnya kau bisa berhenti berlari dan kau berhenti tepat di tempat kami berdua berada? Sedangkan kami adalah sepasang kekasih. Hahaha..." si Jangkung tergelak kini.
"Ah, aku tak mau memikirkan kiamat, kawan. Aku harus terus berlari demi enam puluh langkahku yang akan membuatmu melangkah setitik. Dan demi enam puluh langkahmu yang akan membuat kekasihmu bergerak menuju angka berikutnya. Kita ini hanya jam, hanya waktu. Tapi kita adalah segalanya bagi mereka di luar sana" seruan si Lincah makin kecil terdengar seiring dengan menjauhnya dia karena masih terus berlari dan berlari.



Untuk Eka Sari ^_^ (semoga berkenan)
ilustrasi dari http://fahahm.files.wordpress.com/2009/01/backwards-clock.jpg

cintakah ini

Kerlip pendaran warna yang terpancar dari lampu-lampu sebuah kota terlihat dikejauhan di dataran rendah yang tertangkap oleh pandangan mata Putri. Kaki berbalut selop biru muda itu berdiri di atas hamparan rumput hijau kekuningan akibat dari timpaan sinar matahari pada siang hari.
Segelas mug berisi coklat panas dengan kepulan uap air panas ada digenggamannya menghangatkan telapak tangan Putri yang merasakan hawa dingin tengah malam itu.
Putri termenung memandangi warna warni lampu yang terlihat bagaikan permata berkelip sehamparan sudut mata kanan ke kirinya, indah nian warna warninya sebanding terbalik dengan warna awan kelabu yang tengah menutup merah hatinya.
Didekapnya mug hangat itu mendekati hatinya, ingin dia menguapkan awan kelabu dilingkaran hatinya bersamaan dengan membubungnya uap coklat panas di dalam mug.

'Terima kasih ya kamu bersedia menerima kado istimewaku', ucapan dengan senyum manis keluar dari mulut Rio ditambah dengan kecupan mesra di kening Putri. Keduanya tengah berbaring diselimuti bed cover hijau daun di dalam ruang tidur di sebuah rumah peristirahatan milik keluarga Rio. Rumah peristirahatan yang dijaga oleh seorang pak tua penduduk dari desa sekitar dan hanya pada hari libur ramai oleh kedatangan keluarga besar Rio.
Lebih sering rumah peristirahat bertingkat dua ini senyap diketinggian bukit yang tidak jauh letaknya dari kota Semarang.
Putri dan Rio keduanya mahasiswa Universitas Diponegoro semestar enam yang tengah menjalin asmara tepat dua tahun di malam itu.
Putri hanya bisa tersenyum mendengar ucapan manis dari Rio di tengah rasa redam hatinya mengingat peristiwa beberapa saat yang lalu.

Di tengah lamunannya memandangi kerlip lampu dikejauhan, Putri teringat ucapan Rio siang tadi pada saat mereka berdua selesai mengikuti mata pejaran terakhir di hari itu.
'Yang kamu ingat kan hari ini pas dua tahun kita menjadi pasangan terserasi di kampus ini, hehehe. Aku ingin memberimu kado istimewa bukti dari cintaku padamu'.
'Ooh yaa, apa itu kak?', nada penasaran terdengar jelas di suara Putri.
'Sabar yaa nanti malam kamu akan tahu. Ok? Setuju ya Yang'. Hanya itu jawaban Rio mendengar pertanyaan Putri.

Sore tadi keduanya sudah berdandan cantik dan tampan masing-masing ingin menyenangkan pasangannya di hari istimewa mereka.
Putri sudah sering mendengar cerita dari Rio mengenai rumah peristirahatan keluarga di daerah Bandungan, daerah perbukitan yang tidak jauh dari kota Semarang, tapi baru kali ini Putri melihat sendiri indah dan nyamannya rumah perisirahtan keluarga Rio.
Seorang pak tua menyambut dengan santun kedatangan mereka. Pak tua menyerahkan kunci rumah ke Rio dan meninggalkan mereka berdua di teras depan rumah yang luas. Putri memandang hijaunya daerah sekitar yang masih penuh dengan perdu dan tanaman liar. Tetangga terdekatnya terlihat beratus meter dari hamparan luas tanah tempat rumah peristirahatan itu tegak berdiri.

Aaah Putri tidak sanggup mengingat peristiwa selanjutnya sesudah mereka memasuki rumah itu.
Putri hanya mampu mengingat rasa hatinya sesudah semuanya terjadi.
'Betulkah, beginikah bukti dari saling mencintai? Sucikah cinta kita sesudah peristiwa yang diluar dugannya ini?
Iya kuakui gelora hasrat begitu pandai dipermainkan Rio yang betul-betul menghanyutkan pikiran sadarnya. Sungguh nikmat permainan jemari ditimpali cumbuan bibir Rio, aku tidak merasakan kesangsian pada waktu itu. Aku terperangkap dalam pusaran keinginan birahi kami'.
Tetapi, begitukah pembuktian dari rasa cinta kita? Awan kelabu masih menyelimuti hati Putri.

Wednesday, February 10, 2010

Permohonan Maaf

Temans.. mohon maaf banget ya..aku bener-bener gak tau mau nulis apa lagi nih... aku bingung deh..nulis gak ada yang selesai, muter2 gak nemu2 lagi mau nulis apa.... kayaknya kelingking harus direlakan lagi deh....huh!!!

Terimakasih ya semuanya....

kamu dan si ular hitam


-Ilustrasi-

Dua bola mata itu beradu denganku. Tak mau kalah. Aku merasa, dia semakin buas. Merampas keakraban sesaat, Sabtu sore itu.

“Terimakasih buat hari ini ya!”
Dia melemparkan senyum ke arahku sembari menyimpulkan tali sepatunya.

“Tunggu!” Pandangan itu. Aku mengenali. Bukan hanya itu. Bahasa tubuhnya, juga! Hm.

Sesibuk aku mencocokkan list ingatanku, tak sadar, aku telah membiarkan tatapanku menjelajah, mungkin sudah berlama-lama mendarat di muka dia.

Astaga..! Dia membidikkan pandangannya tepat dibawah selidikku. Hampir aku terperangkap. Untung cepat bergeliat dan rambutku tergerai bebas, paling tidak ikut membantu!

“Aku keluar bersama kalian.”

Sambil menyambar jaket musim dingin hitam polos yang tergantung di dekat pintu keluar, aku menyahut memastikan. Sementara, tangan kiriku menahan pintu asrama Hochschulstrasse, gedung yang tidak begitu jauh dari Beyerbau, fakultasku.

“Oh..mau sama-sama ceritanya neh?”


Nadanya mencoba akrab seraya menahan pintu dengan utuh.
Kali ini aku tak bisa berkedip, lentik bulu mata itu meraba ingatanku. Namun, aku mencoba tak memaknainya. Biarkan saja. Ini kali pertama aku kenal pria ini, pikirku.

***

Di strassen bahn, mataku tak lepas dari tulisan pemberhentian merujuk pada kursor hitam yang berganti hampir tiap dua menit, di monitor kecil itu. Tak lupa, seluruh kemampuan kupaksa mengerti apa yang dikatakan perempuan dari speaker itu saat kereta melaju kembali. Memang, hari itu kita berjanji bertemu. Aku meminta untuk diajarkan gitar klasik.

"Nyasar kemana dulu?"

Begitu kamu membuka pembicaraan. Aku hanya berani menarik senyum, menahannya sembari meneruskan beberapa langkah dan menghampirimu di pojok Apotik.

"Iya euy, aku kesasar! aku tidak tau kalau tram nomor 12 menyebrang dulu naiknya.", tandasku membela diri.

"Gila! Ini Jerman, kamu kemana saja? mana ada lagi alasan macet!", dia menegaskan.

Aku sempatkan melirik jam di tengah persimpangan itu, sejam berlalu dari janji. Kasihan juga dia menunggu dingin seperti ini, pikirku. Tanpa membantah lagi, aku hanya mengikuti dia sembari berpikir, sosok pemarah atau tegaskah? Hm.

***

Aku menyukai permainan gitarnya. Sayang, partitur itu sempat membuatku berpikir menjadi orang paling bodoh. Tapi, itu pula yang memberiku kesempatan untuk memaknai sepasang mata hitamnya. Tatapan, yang seminggu sebelum pertemuan pertama telah kutemukan di dekat mata air, sesaat setelah aku memutuskan untuk menyusuri sumbernya. Ya, tatapan yang sama dengan ular hitam yang kutemukan saat itu, dia mengisyaratkan matamu!

***

Maaf, beberapa tulisanku sempat kusimpan karna pertimbangan2 yang membuatku males untuk berargumen. Dan tulisan ini salah satunya.

Tuesday, February 9, 2010

Pelangi Rasa

Jemariku gemetar membaca barisan aksara yang muncul di ponselmu. SMS mesra pada jam 3 dini hari! Kutenangkan jiwaku, kudinginkan kepala yang mulai panas dengan amarah. Tak ada nama, hanya barisan angka, berarti nomor ini tak tersimpan dalam memori ponselmu. Perasaan tenang merayapi hati, mungkin SMS mesra ini cuma nyasar saja.

Hati-hati ku letakkan ponsel istriku itu pada tempatnya. Memang, kami sudah menikah namun privacy masing-masing kan harus tetap ada dan dijaga. Ku pejamkan mata, mencoba untuk kembali tidur. Namun tak bisa. Aku gelisah. Tak bisa kupungkiri, aku

Saturday, February 6, 2010

Sakit

Sesak hati ini. Jiwaku bagai terhimpit diantara sela-sela karang. Kuambil dan kubuka lagi amplop besar itu. Kutilik dan kupandang dalam-dalam lembar demi lembar dalam album itu. Aku masih tak percaya, semuanya harus berlalu dengan cara begini! Lima tahun kita lalui bersama, tanpa terlintas sedikitpun menorehkan luka yang begitu dalam.

Semakin kupandangi gambarnya, semakin ku tak percaya itu adalah dia. Kubingkai gambarnya dengan frame kaca favoritku. Kuletakkan kedalam kotak kecil. Aku berjalan perlahan ke halaman belakang rumahku. Rumah yang ia belikan untukku. Rumah yang mestinya kami tempati bersama. Telah kugali lubang kecil dengan tanganku sendiri, untuk meletakkan semua ini. Penggalan kenangan kami. Semuanya, agar tak ada sisa kenangan diantara kami, bahwa kami pernah bersama merajut kasih yang kini telah terkoyak. Kuingin menguburnya dalam-dalam.

Tak sulit menjual rumah ini. Rumah yang akhirnya ia berikan menjadi milikku. Tapi..., entahlah rasanya untuk yang satu ini masih berat bagiku. Kulangkahkan kakiku kala matahari mulai bersinar dengan teriknya, namun teriknya mentari, rasanya tak mampu meluluhkan hatiku yang kurasakan beku. Kuserahkan kunci ke security kompleks, untuk merawat rumah ini, mengontrakkannya bila ada yang berminat, dengan satu pesan kecil bahwa bila ia tanya, katakan rumah ini sudah dijual.

Roda-roda bis terus berputar, perlahan namun pasti menghantarku ke kota asalku. Ku terus termenung dalam bis yang terus melaju. Anganku melayang, mengingat semua kenangan indah bersamanya yang kini telah ia akhiri. Ah! Bukankah aku sudah bertekad melupakannya? Tak mungkin kami bisa merajut mimpi seperti dulu lagi, karna semuanya kini tak sama lagi. Tapi, mengapa kenangan-kenangan itu masih saja mengusikku?

Matahari hampir terbenam mengakhiri tugasnya hari itu. Semakin kutahan, anganku semakin mengembara kemasa-masa indah dulu, seiring laju bis yang terus berputar. Pedihnya perasaanku. Lima tahun bersama, ternyata aku tak mengenalnya sedikitpun. Betapa bodohnya diriku, dipermainkan perasaan.

Akhirnya aku tiba di kotaku. Tak mungkin ku pulang kerumah orang tuaku dalam keadaan seperti ini. Hanya akan membuat mereka gelisah dan khawatir. Kuputuskan untuk menginap di hotel. Ah! Hotel ini lagi.

Begitu letihnya diriku, sampai akhirnya kuterlelap dengan segala galauku. Sebuah mimpi buruk membuatku kembali terjaga. Sementara diluar sana, sang rembulan bersinar dengan begitu indahnya. Namun, mengapa ku tak bisa nikmati keindahan itu? Usapan lembut sang bayu tak mampu sejukkan hati ini. Aku merindukannya. Kurindu belaiannya. Kurindu kehangatannya. Ingin rasanya kupunya sayap, agar ku dapat terbang menjemputnya, menemaniku melalui malam ini, seperti malam-malam yang dulu, agar tak sunyi diri ini.

***

Sebulan sudah kami berpisah. Kutinggal bersama orang tuaku. Mereka kini bisa mengerti semuanya. Tapi, mulai ada yang tidak beres denganku. Kumulai sering sakit. Kesedihan ini nyaris membunuhku. Makanan mulai sulit kucerna. Tubuh ini menolak asupan makanan. Sampai akhirnya orang tuaku memaksaku ke dokter. Memastikan penyakitku. Padahal aku tau pasti, tak ada obat untuk sakitku, karna sakitku adalah sakit rindu yang teramat sangat dalam. Karna ternyata aku tak mampu melupakan kekasih hatiku. Adiyanto.


Semua tercengang. Shock. Aku ternyata tidak sakit. Hanya saja..., ada mahluk kecil bertumbuh didalam rahimku! "Tidak mungkin!" Jeritku histeris. Mengapa baru sekarang benih itu bertumbuh dirahimku? Mengapa setelah semuanya terlambat?

***

Keluargaku memutuskan untuk pindah. Pindah dari kota ini. Agar dia tak tau dimana kami. Agar dia tak pernah tau, ada benihnya dirahimku.

-Inge-

Friday, February 5, 2010

S & P

S mengerling kepada P yang ada di sampingnya. Dengan bahasa isyarat yang hanya mereka berdua yang tahu, S berusaha memberitahu P akan kedatangan sepasang anak SMP yang masih lengkap dengan seragamnya. Mereka duduk di hadapan S dan P.
Si anak laki-laki usia tanggung itu tampak sedikit grogi. Terus-terusan dia menggaruk-garuk kepalanya seolah ada banyak kutu bersarang di sana. Sesekali diusapnya keningnya yang lebar. Semua gerakan-gerakan tidak perlu yang menunjukkan kesalahtingkahannya. Sementara si anak perempuan berseragam SMP yang datang bersamanya tampak diam saja. Sibuk mengamati menu.
"Kelihatannya baru jadian, nih" bisik S kepada P. P hanya menggangguk tanda sependapat dengan S.
Tak lama kedua anak SMP itu memesan makanan dan minuman. Sesekali terdengar percakapan antara mereka. Kadang mereka tertawa karena lelucon yang biasa saja lucunya. Kadang lama terdiam seolah berpikir keras mencari bahan pembicaraan yang lain. Benar-benar pasangan yang manis.
"Kira-kira akhirnya nanti bagaimana ya, P?" tanya S kepada P masih sambil terus mengamati kedua anak tersebut.
"Kita tunggu aja, deh" ujar P.
Tak lama kedua anak SMP itu selesai makan. Si anak laki-laki memanggil pelayan untuk meminta tagihan. Pelayan pun datang menghampiri mereka dengan selembar kertas. Diserahkannya kertas tersebut kepada si anak laki-laki.
"Mmm..." si anak laki-laki tampak serius mengamati tagihan itu. Si anak perempuan ikut melongok mengamati juga. Kemudian si anak laki-laki mengeluarkan selembar uang dari sakunya dan meletakkan di atas meja.
"Aku makan habis dua puluh ribu pas. Berarti sisanya itu harga makanan kamu ya" ujarnya enteng kepada si anak perempuan.
"Lho? jadi kita bayar sendiri-sendiri nih? Kirain kamu yang bayarin. Dimana-mana juga kalau pacaran tuh, cowonya yang bayarin tau" jawab si anak perempuan kaget bercampur kesal.
"Hehehe...itu kan kalau orang dewasa yang pacaran. Kalau anak SMP kaya kita gini jangan disamain dong. Uang jajanku aja nggak sampai segini" ujar si anak laki-laki cengengesan sambil menunjukkan lembar tagihan tadi.
"Capedeee...lain kali bilang ya kalau mau bayar sendiri-sendiri. Untung uang jajanku belum aku pakai seharian" si anak perempuan bersungut-sungut sambil mengeluarkan selembar uang dari dompet berwarna pink-nya.
S dan P tertawa geli melihat adegan itu.

Tak lama kedua anak itu pergi, datang sepasang anak usia kuliahan ke arah mereka. Si laki-laki tampak sangat senang, dilihat dari raut wajahnya yang tidak henti-hentinya mengumbar senyum. Si perempuan tampak biasa-biasa saja. Mereka duduk di hadapan S dan P.
Sama seperti kedua anak SMP tadi, mereka makan dan bercakap-cakap. Setelah setengah jam berlalu, si perempuan permisi untuk ke kamar kecil.
Begitu si perempuan berlalu dari hadapannya, dengan sigap si laki-laki mengambil handphonenya dan menelpon sebuah nama.
"Eh, kampret! SMS gue gak lo bales-bales. Gila ya, temen lagi usaha gini, bantuin doong. Gue lagi sama Sandra nih. Kirimin uang sekarang ke ATM gue, gue takut gak cukup, kan tengsin gue. Pliiiis...." kata si laki-laki terburu-buru karena melihat si perempuan sudah kembali dari kamar kecil.
"Kita balik sekarang?" tanya si perempuan.
"Tenang aja dulu. Ngapain buru-buru sih? Kita kan nggak ada rencana mau kemana-mana lagi abis dari sini?" jawab si laki=laki berusaha mengulur waktu.
"Oke..." si perempuan kembali duduk. "Kalau gitu aku mau pesan kopi sama cake lagi deh" sambungnya. Si laki-laki menelan ludah sambil tersenyum dipaksakan.
S dan P tertawa terpingkal-pingkal melihat adegan itu.

Sedang asyik menertawakan kejadian itu, tiba-tiba sebuah tangan mungil terasa meraih P dan mengguncang-guncangnya. P terkejut bukan kepalang.
"Hatchii...Hatchiii...Huaaaa!" terdengar suara bersin dan disusul dengan tangisan seorang anak bayi.
"Marni! Gimana sih jadi babysitter gak becus! Dilihat dong si dedeknya. Jangan bengong aja!" sebuah suara wanita yang ketus terdengar. S dan P melihat seorang babysitter dengan seragamnya tengah membersihkan hidung si bayi sambil merunduk-runduk meminta maaf kepada nyonya majikannya. Si nyonya tampaknya sudah lupa dengan kejadian dua detik yang lalu itu. Sekarang dia kembali sibuk dengan Blackberry Javelinnya sembari duduk di sebuah kursi di belakang S dan P. Sang tuan juga tak kalah sibuknya, memegang Blackberry Bold dan tak henti-hentinya mengetik sesuatu di sana. Sesekali dilihatnya anaknya yang masih menangis dengan pandangan terganggu.
"Udah, bawa main dulu ke taman sana!" perintahnya kepada si babysitter.
S dan P cuma bisa menggeleng-gelengkan kepala melihat adegan itu.

Sore di cafe itu berlalu lagi seperti biasa untuk S dan P. Menjadi saksi bisu tingkah laku manusia yang berkunjung ke tempat makan itu. S dan P yang duduk manis di tengah-tengah meja sebagai condiment selalu mendapat tontonan seru setiap harinya. Ternyata menjadi Salt dan Pepper tidak terlalu membosankan, ya?

Thursday, February 4, 2010

senyum terbaik, untukmu..

(sumber foto nyulik disini)

Dengan seragam putih-merahnya, “Cherdik” begitu panggilan akrab gadis kecil itu di rumah, berlari diantara hamburan anak SD yang pulang sekolah siang itu. Kuncir ekor kuda dan pita merah jambu yang melilit mengokohkan ikatan rambut hitamnya, membuat dia terlihat sedikit rapih. Ya, dia berlari sembari melebarkan senyum diantara khayalan siang bolongnya, entah apa yang dia pikirkan.


Cherdik terhenti saat dia harus membuka gerbang besi berwarna putih yang terlihat sudah mulai tua tapi bertengger kokoh dihadapannya. Peluh diwajahnya beradu dengan beberapa pasang mata yang tak lepas mengamatinya. Dia tak membalas tatapan itu, seolah dia tidak ingin diganggu dengan dunianya dan benar saja, dia kembali berlari, bersegera menuju rumah dinas yang mereka tempati saat itu.


Sepi! “Ayah dan ibu kemana?”pikirnya.


Dapur kosong, “Ibu kemana?”

Tidak ada bau segar makanan yang tertinggal dari masakan yang baru diolah.


Setengah berbisik dia mempercepat langkah memeriksa kamar, tempat dimana sang ayah biasanya dia temui kalau tak mendapatinya di beranda. Tempat itu menyiratkan sesuatu yang berbeda dengan Cherdik, tempat favoritnya sebelum bisa mengeja. Saat sang ayah mengijinkannya sekedar menikmati gambar dari buku-buku tebal yang disusun rapi di sebelah kanan meja persegipanjang itu, lalu disusul tertawa lepas sang ayah melihat putri kecilnya berkeliaran dengan imajinasinya. Iya, ayah memang suka duduk berlama-lama disana bahkan tak sekali dua kali Cherdik mendapati beliau duduk membaca jam dua pagi, disaat kebutuhan ke kamar mandi membangunkannya.


Senyum lebar Cherdik perlahan hilang terganti dengan wajah gundah. Hatinyapun menciut.


Kosong! Tidak ada orang di rumah. “Kemana mereka?”


Tadi pagi rasanya aku tidak dipesankan sesuatu, atau mungkin lupa? Tidak ! Cherdik menepis!

Tak biasanya, ini kan waktunya makan siang!


“Aku tak suka sepi!”

Cerdik mencoba memerangi apa yang dia rasa dan beranjak keluar.


“Apa yang mesti aku lakukan?”

Cherdik sedikit memaksa. Dia tersenyum kembali dan berlari ke belakang gereja, masih dengan seragam yang menempel dibadan.


“Turun nak, itu dahannya tidak cukup kuat!”


Seorang bapak setengah umur, mengingatkan Cherdik, yang beberapa waktu sebelumnya hanya bisa diam terpaku menyaksikannya berayun tanpa beban di salah satu dahan pohon jambu yang malang itu.


“Mati aku!” sontak Cherdik memasang mata was-was.


Dia tertangkap basah melakukan hal satu yang disukainya itu. Dia memang sedang menikmati saat bergelantungan di pohon jambu belakang gereja sembari menikmati setiap kunyahan di mulutnya. Entah kenikmatan apa yang didapatinya.


“Ayo nak..ayo turunlah!” Bapak itu kembali meminta.


Dengan muka bersemu merah, Cherdik turun dan memaksa tersenyum manis saat itu. Dan sepertinya si bapak sangat memahami apa yang ingin disampaikan senyum itu. Tanpa menunggu lebih lama, Cherdik mendengar bapak itu berkata: “Tidak usah takut, bapak tidak akan memberi tahu ayahmu, tapi, lain kali jangan seperti itu lagi ya?” itu berbahaya! imbuhnya.


Sambil mengangguk, Cherdikpun berlalu seiring bapak itu juga melanjutkan perjalanannya.


Tiba-tiba terdengar sayup-sayup sesuatu yang tak asing ditelinga Cherdik. Dia menarik kembali langkahnya, seperti magnet yang terkutub, sumber itu menariknya ingin mendekat.


Dia merapatkan badannnya, tak sadar, mulutnya hampir bersentuhan dengan pintu gereja. Sayang, celah pintu itu mendongak ke arah pintu keluar bukan ke arah piano tua itu berada. Matanya sibuk mencari-cari sosok yang memainkan lagu itu. Tanpa berpikir panjang, dia memanjat dari salah satu jendela, mengambil sisi diagonal dan berharap tidak akan ada kejadian apes ketemu mata.


Dengan susah payah, dinding gereja yang terbuat dari masonry itu berhasil ditahlukkannya, sosok pria yang memainkan piano itu terlihat begitu menikmati lagu yang sedang dia mainkan berulang, matanya teduh menggambarkan sebuah kehidupan yang sangat berarti buat Cherdik. Tak terasa air mata Cherdik ikut meleleh membajiri pipinya. Dia salah satu sosok yang dia cari sehabis pulang sekolah tadi, walau sempat berujung di pohon jambu.


---


Cherdik mungkin belum begitu mengerti dengan airmata saat itu, seperti dia memahaminya sekarang. Tapi , tatapan sang ayah tak mungkin pernah dia lupakan. Dia berjanji, akan berlari kepada Tuhannya saat dadanya sesak, seperti ayah!


Senyum bahagia putri kecilmu dengan selembar raport, nilai terbaik saat itu, walau tak mendapati kalian, tapi dia tau doa-doa yang mengukuhkannya. Cherdik akan tetap belajar memberi senyum terbaik kepada semua orang, seperti ayah!

***

Maaf, beberapa tulisanku sempat kusimpan karna pertimbangan2 yang membuatku males untuk berargumen. Dan tulisan ini salah satunya.