Pages

Tuesday, February 23, 2010

Bermain Dengan Waktu

Suara – suara sumbang itu terus berdengung. Persis seperti dengungan nyamuk di telinga menjelang tidur. Menganggu dan menyebalkan! Mulai dari mengingatkan untuk makan, mandi, membaca hingga nonton TV. Mulai dari nada lembut, kesal, marah, hingga akhirnya datar tak bernada. Kenapa semua orang tiba-tiba begitu memperhatikanku? Begitu peduli? Begitu repot? Apa karena sudah lima hari aku tak membiarkan busa sabun yang wangi itu mengelus kulitku? Atau karena belum sesuap nasi pun melewati tenggorakan ini? Ah, apa karena masai rambut yang belum bercanda dengan sisir? Entah. Hanya mereka yang tahu jawabannya. Karena bagaimana pun mereka bicara, rasanya aku enggan angkat suara. Aku hanya ingin menikmati sebuah benda bulat tak berujung dalam genggaman. Liontin. Liontin emas putih dengan sebongkah batu berkilau diatasnya. Namun kilau itu tidak indah. Kilau itu menyakitkan. Sungguh!

“Aku tak butuh perhiasan mas, aku butuh kamu,” isakku pelan.

“Sekarang hanya liontin ini yang dapat kuberi. Tapi aku berjanji, sepulangku nanti, I’ll make it up to you.” Katanya lembut sambil memijat pelan kedua pundakku.

“Seikat bunga dan makan malam romantis untuk merayakan anniversary kita yah,” imbuhnya dengan senyum lucu. Ku tahu ia sedang mencoba merayu, namun kekesalan di hati ini begitu membuncah.

“Koreksi mas, by the time you come back, it’s not an anniversary anymore but a LATE anniversary.” seruku kesal.

“Aku butuh kamu mas. Sudah empat minggu kita gak ketemu!” tambahku lagi. Aku sungguh tak mengerti, kata orang di dalam sebuah perkawinan “normal” tentu ada kualitas waktu yang dihabiskan bersama, ada tawa, cerita, hingga airmata yang bertukar tempat. Namun, lima tahun aku menikah dengannya, jarang sangat kami dapat bersama. Pekerjaan sungguh menyita waktunya, mengharuskannya berkeliling Indonesia memberikan training plus motivasi bagi para sales. Bahasa kerennya, Roadshow dari kota ke kota agar para penjual kecap asuransi itu dapat memenuhi target penjualan, hingga tak pernah sekalipun ia dapat merayakan hari spesial itu bersamaku. Tidak, aku tidak sedang bermanja. Luapan emosi ini lebih kepada jeritan putus asa akan masa depan pernikahan ini. Ia sangat sibuk, sungguh sangat sibuk!

“Daripada kamu marah-marah begini, kenapa kita gak coba menikmati waktu-waktu yang ada sekarang ini?”

“Yang Mas maksud waktu, adalah 30 menit ketemuan di sela-sela transit pesawat seperti ini?”suaraku meninggi.

“Maafkan aku sayang, kamu tahu kan aku harus....bla..bla..bla...” Lagi-lagi ada begitu banyak alasan yang dikemukakan. Mulai dari tanggung jawab kepada perusahaan hingga promosi sebagai imbalannya. Padahal aku tahu, obsesinya menjadi nomor satulah yang membuatnya gila kerja.

“Kamu mengerti kan sayang?” Tanyanya lagi.

Aku tak ingin menjadi istri kualat yang melepas suami dengan pertengkaran. Jadi aku menganggukan kepala, tentu saja, dibalut dengan seyum palsu (seperti biasanya). Namun ada yang beda dalam anggukan kali ini, karena sekarang anggukan kepalaku dibarengi dengan satu serapah dalam hati “Oh Lord you may died burried with your job, it’s your first wife anyway.”

Dengan pelukan dingin serta ciuman wajib di kening, aku melepasnya di dekat gerbang keberangkatan bandara. Dan itu adalah anggukan terakhir yang mengantarkan jawaban akan seruan putus asa masa depan pernikahan kami. Esok harinya, tepat di hari anniversary kami yang kelima..., Mas terperangkap reruntuhan tembok hotel tempat ia memberi seminar. Ia tertimbun pekerjaannya. Gempa itu merenggut suamiku, meniup semua mimpi hingga terbang tak berbekas. Jika saja waktu dapat diputar kembali, ingin rasanya kunikmati 1800 detik itu sepuas-puasnya.... Namun aku tak mampu memperdayai waktu. 30 menit itu telah kuhabiskan dengan harapan jahat yang menyakitkan, dengan keegoisan tanpa mencoba mengerti posisinya. Arrrgh... Gempa itu tak hanya meluluhlantakkan Padang atau Pariaman, namun juga memporakporandakan hati ini. Aku tak mampu lagi menikmati waktu...

2 comments:

Irene said...

wahhh..bagusss...bisa aja ngarang di injury time ya...;))

keisa said...

huaa...mana nih Eka, tadi malem saya udah baca...tapi gak komen karna nunggu pemiliknya dulu.

sperti biasa Ka, keren tulisanmu!

sedih yang tak tersesalkan kalo kaya ceritamu, yah..mudha2an ke depan lebih menghargai waktu dan kebersamaan.