Pages

Tuesday, February 16, 2010

Tak Ada Judul

Disclaimer: Cerpen ini adalah pengembangan dari cerita sebelumnya yang pernah saya post dua minggu lalu. Ternyata bisa nyambung dengan rangkain cerpen yang sedang saya garap. Dua paragraf pertama akan terasa familiar namun setelah itu dijamin penasaran :D (sok PD hehehe) Semoga tidak bosan ya. Durasinya lumayan panjang. Butuh waktu untuk mencerna dan membacanya ;)



UDARA DINGIN menyeruak ke dalam ruangan tidur kami. Ruang tidur yang berperan ganda sebagai peraduan dan saksi bisu. Ruang ini adalah kawan gelak tawa saat gurau suami terlontar meredakan rajukku. Ruang ini merupakan saksi derai airmata, saat keinginan dan kenyataan tak berjalan seiringan. Ruangan ini jugalah yang meredam lenguh cumbu mesra sepasang anak manusia - catat: sudah halal!


Seiring hawa sejuk yang merasuk tulang, kupandangi wajah belahan jiwa yang terlelap dalam manis buaian mimpi. Semakin kupandangi, perlahan semakin aku mengakrabi perasaan yang dulu pernah ada. Rasa itu lamat-lamat muncul. Rasa sayang yang membuatku sukarela membatalkan rencana kuliah ke negeri Kangguru agar bisa menikah dengannya. Perasaan kasih yang membuatku yakin (tanpa rasa menyesal sedikitpun) untuk berhenti bekerja agar bisa sepenuhnya mengurus rumah tangga. Dulu, dulu semuanya terasa indah. Namun sekarang..., entah apa yang terjadi, sepertinya kami semakin menjauh. Walau raga ini bernaung disatu atap, walau tubuh ini berbagi ranjang yang sama, namun ada jarak yang membentang, hatiku (ataukah hatinya?) mulai beranjak pergi.


Ku raba dadaku dan airmataku meleleh. Ditengah semua rasa ketidakpuasaan pun kesepian ini, kutahu rasa itu... (rasa yang dulu membuatku berkata ya pada lamarannya) masih tergores dalam loh hati ini. Meski telah tertutup oleh minimnya waktu untuk bersama, oleh kurangnya romantisme dan kata-kata cinta, oleh asa dan realita yang tak mampu berkawan, namun yang pasti, aku masih mencintainya. Sungguh!


Bola mataku tertuju ke jam meja di sisi tempat tidur, manakala beker futuristik hadiah kuis di TV itu melakukan tugasnya dengan baik: berdering nyaring. Tanda buatku memulai aktifitas. Ku alihkan pandang. Kudapati sang pangeran membuka matanya pelan, kemudian tersenyum lembut melihatku. Ah, perasaan ini lembut, selembut sutera. Sempat kutangkap perasaan tak tentu dari sorot matanya, seperti rasa galau juga marah dan kecewa. Tapi senyum lembutnya itu mengaburkan gulana dari paras wajahnya.


Tegap dan pasti, Ia beranjak menuju sudut ruangan. Dengan tangan kokohnya menyambar kayu coklat berbentuk aduhai. Elok lekuk tubuhnya. Sementara jenjang lehernya dihiasi enam utas tali yang terlihat rapuh namun memiliki kekuatan luar biasa. Baru kemudian aku tahu tali itu mempunyai merek! d’addario. Dipangkunya sang gitar Spanyol yang oleh pembuatnya diberi nama: Prudencio Saez. Kemudian perlahan ia mengecup keningku dan berbisik lembut, “Kita awali hari ini dengan doa, kali ini kamu pilih lagu pujiannya”.

Aku mengganguk seiring kabut rasa tertolak dan keengganan yang melesak cepat dari hati. Begitu banyak pertanyaan yang berputar dikepala. Membuat pening dan mengaduk-aduk emosi jiwa. Masih layakkah aku untuk berdoa? Masih maukah Tuhan memberikan wajah kudusNya guna memandangku? Masihkah? Derai airmata membasahi pipi. Astaga, maukah Tuhan mendengar seru dari bibir yang telah melumat lidah pria yang bukan suaminya? Tidakkah Tuhan memandang rendah istri yang menyerahkan diri dibelai, dijilati dan disetubuhi kekasih gelapnya? Arrrrrgh! Rasa bersalah itu kian merajalela. Sesak, sesak sekali! Dadaku sesak sekali!! Terus memburu nurani, mencengkeramnya kuat, persis seperti kucing menerkam tikus buruannya. Katakan padaku, masih layakkah aku? Aku tak pantas ada disini, di pelataran Rumah Doa Tuhan. Aku ini kotor! Menjijikkan. Binal. J.A.L.A.N.G. Ya.. silahkan caci aku, boleh kalian memakiku. Perempuan NAKAL yang berselingkuh. Katakan saja sekeras-kerasnya! Jangan hanya bicara diam-diam dalam hati. Bilang! Bilang sekeras-kerasnya!! Oh For God sake! Hakimi aku, hukum aku, jangan hanya diam! Namun semua jeritanku itu tak terdengar, tersangkut di pangkal tenggorokan bersama bulir-bulir air yang menetes.

Ku lihat suamiku tekun berdoa sambil terus memetik dawai gitarnya. Cepat kuhapus airmataku. Tak boleh ia melihatku menangis. Nanti bisa curiga. Untuk sekian waktu aku hanya diam tanpa tahu harus bagaimana, kecuali memandangi wajah khusuknya. Sekejab ia mengangkat wajah dan tiba-tiba tanganku diambilnya. Dan dimatanya kulihat duka. Seperti rasa perih, namun terbalut kasih? Ah, entahlan. Hatiku bergetar. Aku takut. Rasa bersalah ini begitu mendera.

Beberapa tarikan nafas diambilnya lalu pelan kudengar ia berkata,” Aku tahu semuanya.” Pendek kata-katanya, begitu tenang ia bicara namun kata-kata yang pendek itu menghujam jantungku. Dihelanya lagi nafas panjang sebelum ia melanjutkan lagi, “Aku tahu tentang dia.” Bibirku terbuka, kaget tak terkira. Sepertinya... Ah, mungkinkah akhirnya ia telah tahu? Apa yang harus aku katakan padanya? Tidak, tidak, seharusnya ia tidak tahu. Cepat aku menguasai keadaan. Dalam situasi seperti ini aku harus tenang.

“A.. a.. apa maksudmu?” tanyaku. Berusaha menyembunyikan gulana sementara otak ini berpikir keras akan jawaban apa yang harus disediakan. Semoga suamiku tak menangkap getar kebohongan yang merambat dari suara ini. Namun kulihat matanya.. Ah lagi-lagi matanya berselimut duka.

“Ka.. kamu.... mengkianati.... cinta.... kita” ucapnya terpatah-patah dengan mata berkaca-kaca. Walau begitu, tajam ekor matanya menyiksaku. Aku meneguk air liur, dapat kurasakan dadaku berdebar lebih cepat dari biasanya. Telapak tanganku dingin. Sangat dingin.

“Kamu mengingkari janji setia kita di depan Allah, di depan jemaat, di depan keluarga,” tandasnya lagi. Tangannya meremas jemariku. Ku tahu sudut mataku mulai panas. Teringat janji yang kuucapkan di Altar 5 tahun lalu. Kala itu aku bersumpah setia! Hingga maut saja yang memisahkan. Tapi lihat aku, lihat aku sekarang. Ditinggal kesibukan sebentar saja, aku telah berpaling. Rasa bersalah itu kembali datang. Namun, ku keraskan hatiku. Aku tak boleh menangis! Tidak di depan dia!! Aku harus mengelak. Aku harus menyangkal.

“Kamu memberikan tubuhmu yang telah menjadi satu daging dengan tubuhku, kepada orang lain,” ucapnya lagi. Dapat kudengar rasa pahit dalam nada suaranya. Aku menunduk. Tak mampu melihat wajahnya. Dalam diam, makin kukeraskan hati ini. Walau dadaku mulai perih seperti ditusuk ribuan jarum rasa bersalah teringat janji di depan altar! Suci hanya untuk suami!

“Hatiku hancur. Kamu menginjak-injak harga diriku..,” ujarnya lirih. Helaan nafasnya telah bercampur dengan ingus dan air mata. Senyap sejenak.

“Tapi....,” katanya lagi... Aku menunggu ia menyelesaikan kata-katanya.. namun sebelum ia melanjutkan kalimatnya, suamiku menghela nafas panjang. Inhale.. exhale.. Pelan, pelan sekali... Menghirup oksigen kedalam paru-parunya sebanyak mungkin.. Makin kukeraskan hatiku. Aku harus menyangkal. Walau ketika melihat wajahnya saat ini, dapat kurasakan sakitnya. Ah, hatiku pun terasa sakit melihat perih jiwanya. Ditengah bimbang hatiku antara rasa bersalah dan segala tipu daya penyangkalan yang akan kuberikan, kuberanikan diri mengangkat wajah dan melihatnya.... dan mata kami beradu... Ah, mata itu... mata pria yang kucintai itu... Mata pria yang menemani hari-hariku selama ini, mata yang memancarkan cinta. Sementara mataku memancarkan dusta. Kelopak ini makin panas.. aku bingung.. harus bagaimana.. aku sadar aku menyakitinya... Tapi.. tapi.. jika aku mengakui segalanya.. tentulah ia akan murka. Tapi mata itu.. mata suami yang kucintai itu... Mata itu tidak menghakimi, hanya memandang penuh arti. Dan mata itu selaras dengan bibirnya lirih berkata,

“Aku memaafkanmu.” Lalu aku dipeluk. Erat.

Dan pecahlah hatiku. Meledaklah tangisku! Luluh lantak semua kekerasan hati. Aku meraung, deras air mata membanjiri pipi. Aaaah... Aku bersiap untuk segala kalimat menyalahkan untuk terucap dari bibirnya. Aku memang salah, seharusnya aku ini dicaci, dimaki, bahkan kalau perlu dirajam! Tapi kau dengar? Kau dengar itu? Aku... aku.. d.i.m.a.a.f.k.a.n.

Tak percaya ia kan berkata begitu. Pelukannya tulus, hangat nafasnya ditengkukku penuh kasih. Kubalas rentangan tangan suamiku, kuciumi pipinya, ciumku bercampur dengan rasa asin yang bergulung. Dan aku terus menangis hingga airmataku habis. Tanpa mampu berkata-kata.

***

Fajar menjelang di ufuk timur. Dan aku disini. Menikmati denting indah dawai gitarmu dalam peluk hangat cintamu.

7 comments:

Ceritaeka said...

Akhirnya bisa post jugaaaa!! Walopun injury time ;) hehehe

Btw sobat, bisa bantu tak?
Kira-kira enaknya dikasih judul apa yah?

Thank u

liecita said...

wuih...Eka...akhirnya posting juga...
kisah yang hebat Ka! salut buat sang suamiyang berjiwa besar...

judulnya? 'maaf' kali ya...hehehe


btw, cepat pulih ya Ka...jangan lama2 menghilangnya... :)

keisa said...

suaminya baik banget ya...doh...sayanya yang jadi gemes. masih ingat cerita sebelumnya, saat sang suami hancur hati dan nangis melihat sendiri si istri selingkuh. sekarang dia bisa seperti itu, wah...luar biasa...


keren Eka, selamat melanjutkan..

judul...hm.

"maafkan aku cinta" atau "cinta yang memaafkan" atau "saat cinta meraih kata maaf"

haiyaa makin ngaco :D


Eka sakit? semoga cepat sembuh ya..

ami said...

wuiih ka, dega2an bacanya. bener sih kalau si suami memaki rasanya ikutan puas. naaah kalau memaafkan begini mesti merenung dulu, sebesar itukah hatiku sendainya .... waaah ngeri ka
cepetan pulih yaa. seneng banget eka mami bisa posting :D

Irene said...

Ka...duhhh...suaminya baik banget ya...

Indah said...

Hiks hiks huaa.. nih suami pasti bener2 mencintai istrinya yaa!

Apalagi istrinya udah tidur ma lelaki lain githuu.. huaa.. biasanya khan laki2 itu lebih ngga rela istrinya dijamah ama laki2 laiinn.. kalo soal cinta aja sih terserah, asal ngga tidur bareng :p

Suamii.. baik amat sihh!!

Istrii.. awas yaa kalo besok2 selingkuh lagee!! *toeng*

Judulnya yaa? Hmm.. "Kala Fajar Menjelang", huehehehe :D

Winda Krisnadefa said...

hihihihi...bener tuh kata indah...biasanya suami kalo tau istrinya selingkuh, tiada maaf bagimu...
tapi yang satu ini gila banget cintanya berarti ya...weleh weleeeh....
judulnya...suamiku sayang suamiku malang aja...huahahahahaaa