Pages

Saturday, February 27, 2010

Pindah

Bagai petir disiang hari, menggelegar keseluruh penjuru, ketika kami mendengar kata demi kata yang keluar dari mulut dokter saat itu. "Tidak ada yang perlu di khawatirkan. Bu Inge, selamat! Anda hamil. Berbagai rasa berkecamuk didadaku. Inge, anak perempuan kami hamil. Hamil tanpa suami."Tidak mungkiiiin...!" jerit Inge histeris.

Bohong, kalau kami tidak sedih. Dusta, kalau kami tidak terpukul dengan kehamilan Inge. Kami kecewa. Aku dan suamiku. Tapi, apa daya kami? Nasi sudah menjadi bubur, dan sampai kapanpun, Inge tetaplah anak kami. Tak'kan pernah berubah. Kalau kami saja tidak bisa menerimanya, bagaimana dengan lingkungan? bagaimana dengan keluarga besar? bagaimana dengan orang lain? Kami berbesar hati menerima Inge. Apa adanya. Kami memaafkan kekhilafannya. Kecerobohannya. Keteledorannya. Maaf yang tulus. Yang murni. Tanpa syarat apapun. Karena kami mencintainya.


***

Tujuh bulan sudah usia kandungan Inge, anakku. Anak yang begitu kukasihi. Anak yang begitu kubanggakan. Yang hamil di luar nikah. Apa kata orang? Apa kata tetangga? Apa kata keluarga besar? Karnanya tidak salah keputusan yang kami ambil dulu. Membawa Inge pergi jauh. Pindah. Jauh dari lingkungan masyarakat kami yang begitu tradisional. Kolot. Jauh dari gonjang-ganjing tetangga. Menghilangkan jejak dari ayah bayinya yang mungkin akan mencarinya.

Sekarang. Tiba-tiba Inge berubah pikiran. Ia ingin pindah, tinggal di rumahnya. di Jakarta. Rumah Pemberian laki-laki itu. Setelah beberapa hari lalu ia mendapat berita dari security kompleks peruhmahan itu, bahwa yang mengontrak rumahnya harus pindah keluar kota. Sudah berbagai cara, aku dan suamiku meyakinkan Inge, untuk tidak kembali kesana, karena kami takut akan berpengaruh buruk buatnya, buat bayi dalam kandungannya, yang sedikit lemah. Tapi Inge ngotot. Tetap ingin pindah. Dan kami tidak bisa berbuat apa-apa. Kami ingin Inge bahagia.

"Kalau suatu saat, kamu bertemu dengan laki-laki itu, bagaimana?" tanyaku sebelum kami berangkat. "Inge siap bu." hanya itu kata yang terlontar dari mulutnya. Dan kami pun mengantarnya. Kami tahu, Inge pasti sudah memikirkan berkali-kali sebelum dia mengambil keputusan ini. Dan aku, juga suamiku, kami akan mensuportnya. Demi kebahagiaannya.

***

Dua hari tinggal di rumah Inge yang mewah. Perutnya mengalami kontraksi hebat. Kami langsung melarikannya ke Rumah Sakit terdekat. Inge kelelahan. Memicu reaksi hebat dari kandungannya. Dan yang lebih mengagetkan. Terjadi pendarahan.

-Bunda Inge-

9 comments:

liecita said...

Hasil cerita kebutan... untung ga nabrak tukang gerobak bakso...hihihi...

g.siahaya said...

Huhuhu... tambah lama tambah kasihan sama Inge. Nasibmu, nasibmu, perempuan yg ditinggalkan dan dilupakan pula... T__T

liecita said...

aku sendiri sedih ngebayangin ceritanya...jadi ga tega lanjutin endingnya...hihihi...

keisa said...

tetep dilanjutin dong mbak...

yang pasti, hasil kebutannya keren mbak, sama sperti cerita2 sebelumnya, bagus dan wokeh..

liecita said...

thx kei...lagi bingung mo ending nya sama siapa. inge ato dian...???

hayo pilih mana? wkwkwkw...

keisa said...

Inge. Dian. Inge. Dian

Inge

Dian

Inge

gak tega :(

Miss G said...

Hihihi... Yulie, paling bagus kalau pada akhirnya dua2 perempuan itu justru saling memberikan Adiyanto kepada yg lainnya, huehuehueee... ujung2nya Adiyanto ga dapat Dian dan ga juga dapat Inge, sementara dua perempuan itu masing2 mendapatkan laki2 lain, tanpa perlu memperebutkan satuuuu lelaki, hihi... Prinsipnya: tidak hanya ada 1 laki2 saja di dunia Inge dan Dian.. Huhuiiy :p

liecita said...

hihihi...seru kali ya qlo bikin begitu ceritanya...

bingung euy...
yang pasti aku ga bakalan bikin ending poligami...hahahaha...

penginapan di jakarta said...

mampir nich dari jakarta selatan....
saya suka bog anda, anda juga bisa kunjungi jasa-pengamanan. Oke salam kenal