Pages

Saturday, February 20, 2010

Waktu

Minggu kedua di tahun yang baru. Hanya mami yang tau, kemana aku pergi pagi-pagi buta. Di hari pernikahanku. "Aku mohon restumu mas." Ucapku pelan. "Jika kelak aku jatuh cinta lagi, itu bukan berarti aku melupakanmu." Janjiku. "Sampai kapanpun, kau akan tetap hidup dalam hatiku". Gumamku lirih. Ku yakin kau mendengar, sepelan apapun suaraku. Kupandangi lekat-lekat pusaramu. Tempat peristirahatanmu yang terakhir, tempat dimana kau dibaringkan. Selamanya. Tak kutemui sosokmu disitu, tapi ku yakin, kau s'lalu ada, entah dimanapun kau kini.

***

Setelah usaha bunuh diriku yang gagal. Mami dan papi akhirnya berbagi luka dengan keluarga Om Bonar. Dan, inilah hasilnya. Bang Adi mau menjadi ayah bayi ini, yang artinya juga menjadi suamiku.

Aku tahu persis hati suamiku. Tak ada aku disana, apalagi bayi dalam kandunganku. Dia menikahiku, karna kasihan. Tapi, itu bukan alasan untuk tidak bersikap baik. Menikahiku, pasti ada banyak hal yang ia korbankan. Namun aku meyakini satu hal, cepat atau lambat, dia akan mencintaiku, begitupun sebaliknya, aku akan mencintainya. Kata mami di hari pernikahanku masih begitu jelas. "Menikahlah sekali untuk selamanya, lakukan bagianmu, selebihnya serahkan pada yang di atas."

Aku berusaha menjadi istri sempurna. Aku berusaha melakukan segala sesuatu sebaik mungkin. Walau aku sadar, manusia tak ada yang sempurna. Namun, tak ada salahnya aku berusaha. Meski kami tidur di kamar yang berbeda, aku tetap menyiapkan keperluannya. Dari sarapan sampai pakaiannya. Suamiku selalu pulang larut malam, menyapaku seperlunya saja. Tapi aku tidak mengeluh. Semua itu sangat wajar, karena pernikahan kami tidak di landasi cinta yang tulus. Tapi, percaya atau tidak, aku belajar mencintainya. Aku berhutang banyak padanya. Berhutang nyawa anakku. Karnanya, kurasa tidaklah berlebihan bila aku membalas semua itu dengan cinta. Cinta yang berusaha kupupuk, meski begitu sulit, karna, suamiku tak memberiku ruang di hatinya. Waktu kan mengubah semuanya. Semoga...

***

Hari ini begitu sunyi. Mina harus pulang ke kampung, karna bapaknya sakit. Jadilah aku sendiri. Bingung harus melakukan apa, bingung harus ngobrol dengan siapa, akhirnya aku terkaget-kaget sendiri, mendapati diriku telah berada dikamar tamu. Kamar suamiku. Duduk di ranjangnya. Ranjang jati dengan seprei abstrak hitam putih. Ranjang yang menjadi bukti ada tembok yang tinggi antara aku dan suamiku.

Entah berapa lama aku dikamar suamiku, hingga getar ponselku membangunkanku. Rupanya aku ketiduran. Telpon dari mami, seperti biasa, menanyakan keadaanku, menanyakan perkembangan janin dalam kandunganku. Hari sudah sore, aku merapikan seprei dan bantal yang berantakan. Dan...

Dibawah bantal, aku menemukan sesuatu. Sesuatu yang sangat familiar. Potret. Potretku! Untuk apa? Ponselku kembali bergetar. Ada pesan dari suamiku. "Dian, bagaimana kalau kita makan diluar malam ini?" Hah? Apakah aku sedang berhalusinasi karna tidur dikamarnya? Kubaca lagi pesan pendek dari suamiku hingga berulang-ulang. Benarkah ini pesan untukku? Tentu saja, ada namaku disitu. Benarkah pesan ini dari suamiku? Entahlah, aku ragu, tapi aku harus memastikannya. Segera ku tekan tombol-tombol huruf yang ada di ponselku "Oke, jam berapa bang Adi pulang? Aku siap". Cukup lama aku menunggu, barulah aku mendapatkan pesan balasan. "Jam tujuh malam ya."

OMG! Pertanda apakah ini? Benarkah waktu telah mengubah semuanya? Aku punya waktu dua jam untuk siap-siap. Aneh. Bingung. Kaget. Senang. Semua campur aduk. Ini adalah kali pertama suamiku mengajakku dinner sejak kami menikah. Semua pakaian sudah kukeluarkan dari dalam lemariku, aku bingung harus memakai yang mana. Perasaan dejavu. Aku pernah mengalami ini dulu, ketika memilih pakaian untuk kencan pertama kali dengan mas Pras. Oh, mas Pras, restuilah aku, bathinku.

Jam tujuh teng. Aku sudah siap. Akhirnya, aku memilih celana blue jins yang masih muat dengan ukuran tubuhku yang sudah naik beberapa kg, dipadu dengan atasan blous putih. Dan suamiku pun pulang...

-Dian-



cerita sebelumnya:


'sendiri'
'kepergianmu'
'dia'
'sakit'
'pusing'

8 comments:

liecita said...

Rasanya ga maksimal banget, tapi mudah-mudahan bisa menghibur...

Aryadevi said...

bagus ceritanya, tentang kegalauan seorang perempuan yang berusaha mencintai, sangsi..karena merasa dikasihani..tetapi tetap mencoba lewat pengabdian...kesetiaan...pada suami.

Aryadevi said...

ups maaf ya.. salam kenal, dan izin tuk follow.

keisa said...

mbak Lie, bagus mbak...makin penasaran malah baca ceritanya...itu loh, poto Dian yang dibawah bantal...buat deg deg ser...apakah Bang Andi sudah mulai jatuh hati?

ditunggu edisi selanjutnya..

liecita said...

@aryadevi: hi..salam kenal juga :) thx ya uda mampir...

@keisa: hihihi...kayak abg aja :P

keisa said...

kalo urusan romantisme, saya tetep abegeh mbak...:D

liecita said...

jadi awet muda ya kei :)

Irene said...

Lie.. fotonya buat apa tuh? hihii..