Pages

Saturday, January 2, 2010

sendiri

Hiruk-pikuk terompet dan petasan mulai tak terdengar lagi. Hhanya desiran ombak yang terdengar ketika menghempas karang.Kulirik arloji yang melingkar ditangan kananku, sudah jam 4 pagi. Tahun yang baru. Aku bahkan tak sadar saat ini mungkin tinggal aku yang belum memejamkan mataku. Atau lebih tepatnya mata ini tak mau terpejam, padahal begitu lelah mata ini, ingin sekali istirahat sejenak. Tapi mungkinkah? Bisakah? Bahkan untuk menangispun aku tak sanggup lagi. Mungkinkah air mata ini telah kering? Penyesalan memang selalu datang terlambat.

Dia telah pergi. Tepatnya dua jam sebelum tahun berganti. Tinggalkanku sendiri. Seharusnya aku sadar dari awal, inilah konsekwensinya. Aku bukanlah siapa-siapa. Aku hanyalah Inge. Gadis desa, yang punya cita-cita hidup lebih baik. Mengadu nasib di ibukota.

Ingatanku menerawang kembali ke masa silam. Lima tahun lalu. Masa awal ku jatuh cinta.
Adi. Lelaki muda, tampan, pemilik perusahaan tempatku bekerja. Kurasa bukan aku satu-satunya wanita yang terpesona olehnya. Ketampanannya, kebaikannya, perhatiannya, oh...! Bukan itu saja. Dari penampilannya, semua pasti tau dari kelas mana dia berasal. Aku masih ingat dengan jelas kapan dan dimana kami berkencan pertama kalinya. Aku ingat betapa penuh cintanya dia, ketika menatapku, membelai lembut rambutku, menggandeng mesra tanganku, bahkan memeluk hangat tubuhku. Saat kencan pertama itu, kutahu perasaannya pun sama denganku'jatuh cinta'.

Sayangnya, cinta kami tak pernah direstui kedua orang tuanya. Dan aku memakluminya. Terlalu besar jurang perbedaan diantara kami (dan aku begitu bodohnya, menganggap itu bukan masalah kar'na kami saling cinta).
Dia dari kalangan yang status sosial nya di atas, sedang aku? Aku hanyalah gadis desa. Orang tua ku hanyalah petani kecil, yang menyekolahkanku dengan keringat dan penuh perjuangan. Namun aku bangga atas itu, menjadi sarjana dari hasil keringat oragtuaku, ditambah beasiswa dari suatu yayasan sosial yang melihat kepintaranku.
Aku pun berasal dari suku yang berbeda dengannya. Dan yang lebih membedakan kami, agama kami pun tak sama(Oh Tuhan, kenapa sekarang semua itu menjadi besar???.

"Ing, aku ingin bicara" Katanya ketika kami sedang berjalan-jalan menyusuri tepian pantai yang dipadati manusia yang ingin merayakan pergantian tahun.
"Ada apa?" Tanyaku.
"Apa yang ingin kamu bicarakan?" Aku masih tidak mengerti arah pembicaraannya "Katakanlah".
"Oke, kita kembali ke hotel". Ajaknya "Disana mungkin lebih baik untuk bicara" Katanya sambil mengajakku kembali. Berjalan menyusuri keramaian. Aku masih tak mengerti apa yang ingin dibicarakan Adi. Bukankah ini adalah malam tahun baru? Bukankah kami kesini untuk mengakhiri tahun ini dan menyambut tahun baru bersama-sama? Ingin berdua tanpa keluarga yang lain, ingin memikmati kebersamaan ini? Ah...!Entah mengapa nada bicaranya membuat hatiku gundah. Ia semakin mempererat genggaman tangannya, mempercepat langkah kakinya.
"Ada apa?" Tanyaku tak sabar ketika kami tiba di hotel. "Apa ada masalah?" Sambungku gugup. Kutatap matanya. Entahlah, aku sendiri pun tak mengerti, apa yang membuatku gugup.
"Hmmm" Adi mendesah panjang. Kulihat kesedihan disana, dimatanya. Aku makin tak mengerti apa yang terjadi.
"Kau membuatku bingung, apa yng terjadi? Apa ada masalah?" Aku semakin penasaran.
"Mmmm...maafkan aku...aa" Hhh? Adi minta maaf? Minta maaf kenapa? Aku semakin bingung. Kubiarkan dia melanjutkan kata-katanya.
"Papi dan mami ingin aku segera menikah" lLanjutnya cepat. Menikah? Bukankah ini berita gembira? Kenapa dia harus sedih? Kenapa juga dia harus gugup?
"Menikah?" Tanyaku menahan senyum. "Lalu masalahnya apa? Apa kamu belum siap mengajakku berkomitment ke arah itu?" Tanyaku bingung. Sudah hampir lima tahun kami pacaran, dan usianya pun sudah matang untuk berkeluarga, lalu apa masalahnya?
"Bukan" Jawabnya cepat. "Bukan itu" Katanya.
"Jadi?" Hmmm apakah dia akan melamarku? Sebagian pikiranku melayang. Bahagia. Dia akan melamarku...! Akhirnya. Penantian ini berakhir juga.
"Papi dan mami ingin aku segera menikah dengan Dian" HAH? menikah dengan Dian? Siapa Dian? "Aaa..aaa...aapppaaa???" Sekujur tubuhku lemas.
"Dian adalah paribanku. Status sosial kami sama. Papi dan mami telah menjodohkan kami" Dengan cepat Adi menjelaskannya. Secepat tubuhku limbung.
Aku shock. Tak ingin berpikir apa-apa. Aku hanya bermimpi, mimpi buruk, ini tidak nyata.
Pipiku terasa basah. Aku mulai menangis, dadaku terasa sesak. Jadi benar? Ini bukan mimpi? Kucubit tanganku sendiri dengan kerasnya. Sakit. Ini nyata. TIDAAAAAAKKKK.
Aku tak mampu berkata-kata. Adi masih disampingku, menatapku gelisah. Ada kesedihan dimatanya. "Maafkan aku" Katanya "Aku tak bisa menolak keinginan papi dan mami" tambahnya "Kesehatan papi yang tidak stabil, penyakit jantung yang diidapnya, tak bisa menerima penolakan, papi bisa shock bila aku menolak" Samar kudengar penjelasan Adi. "Seharusnya kita tidak memaksakan diri dari awal, suku kita tidak sama, agama kita berbeda" kata Adi "Ya, dan status sosial keluarga kita berbanding terbalik" Selaku. "Ssssstttt" Jari telunjuknya menutupi bibirku. "Kau tau aku tak pernah mempermasaahkan itu" Katanya. "Ini bukan keinginanku Ing. Hanya saja aku tak ada pilihan lain" Lanjutnya. "Kalau ini bukan keinginanmu, kenapa kamu tidak menolak? kenapa? kenapa? KENAPA?????" Aku berontak. "Karna papi Ing. Papi sakit dan aku tak ingin menjadi penyebab kematiannya. Tidak...tidak...dan tidakkkk" Adi teriak sedih, ada ketidakberdayaan disana. "Mengertilah Ing. Coba mengerti posisiku" Adi memohon. "Apa kau juga mengerti perasaanku? Setelah hampir lima tahun bersama, dengan mudahnya kau akan mengakhirinya?" Aku mengumpulkan sisa tenagaku dan mencoba untuk duduk. "Dulu, kita pernah berjanji, bahwa tak satupun bisa memisahkan kita, kecuali maut. Apa kau ingat?" Kataku mengingatkan Adi akan janji kami dulu. Dulu sekali, ketika kami tahu, siapa yang menentang hubungan kami. "Iya, aku ingat dengan jelas, tapi aku tak ingin maut memisahkan aku dan papi...mengertilah...demi papi semua kulakukan". Adi memohon.
Kurasa tak ada gunanya bertahan. Mengemis-ngemis.Memohon-mohon. Tak ada gunanya berdebat. Tak ada artinya.

"Ing, maafkan aku, aku harus pergi, bang Ujang ada di mobil untuk mengantarmu pulang kapanpun kamu siap" Apa? Secepat inikah dia harus pergi? "Kapan kamu akan menikah?" tanyaku sesak. Kupikir, aku lah wanita itu, yang kan jadi pendampingnya. Akh...! "sabtu kedua di tahun yang baru ini". HAH??? Secepat itu? Aku tak mampu berkata-kata. "Papi dan mami sudah mengatur semuanya, aku harus pergi Ing. Maafkan aku.". Ia memelukku erat, namun tak kurasa lagi kehangatan itu. Apa karna aku tau, kehangatan itu bukan milikku lagi? "Ini untukmu..." Adi menyerahkan amplop besar yang diambil dari dalam kopernya. "Aku harus pergi sekarang. Selamat Tinggal".


Aku masih termenung sendiri di teras kamar hotel tempat semuanya terjadi. Menatap malam yang semakin larut. Hampir pagi. Masih kupegang amplop besar pemberian Adi. Apa ini? Perlahan kubuka isinya. Beberapa kertas. Kuambil kertas tulisan tangannya.

Dear Ing... Maafkan aku, entahlah, kurasa tak cukup hanya dengan kata maaf saja... Aku masih sangat mencintaimu, namun mungkin inilah takdir yang harus kita jalani... Cinta tidak selamanya memiliki...Demi satu alasan yang kuat, kuharus tinggalkanmu, namun sebelumnya izinkan aku memberimu sesuatu, bukan apa-apa, namun sebagai kenangan bahwa antara kita ada cinta yang ku yakin tak'kan pernah mati... Adiyanto


Kulipat surat tulisan tangan Adi. Ada selembar kertas lagi, sertifikat rumah, yang dulu dibelinya, untuk rumah kami kelak. Dan, satu album kecil berisi foto-foto kami.
Aku tak butuh semua ini tanpamu disisiku Adiyanto. Aku tak ingin sendiri.

-Inge-

12 comments:

liecita said...

this is my 1st cerpen...maklumin ya baru belajar :)

Indah said...

Ihikss.. Ingee.. awal tahun kok dimulai dengan kesedihan ginii :'(

Yang tabah yaa, Neng, mungkin si Adi memang bukan jodohmuu..

Turut didoakan, Ing, semoga cepet dipertemukan dengan "the one" ;)

Miss G said...

Selamat atas cerpen pertamanya ya Yulie ^^ Hihi.. saya masih menyusun kata2 untuk cerpen sendiri.

Btw, cerpen ini dramatis, tp sungguhan saya berharap Inge menampar Adi di salah satu akhir paragraf, hahaha. Dasar si G yg suka menggunakan kekerasan ;)

- said...

Kalau saya jadi Inge, buat apa buang-buang tenaga untuk menampar. Toh sertifikat rumah sudah di tangan bukan? Langsung saja ke BPN urus balik nama.

Mbak Yulie, pasti suka yang suka sesuatu yang romantis...menyentuh. Dan semua terasa ketika saya membacanya.

keisa said...

koq sama ya mbak G, sayapun menanti adegan tamparan itu dicerita, masa iya 5 taon buat gitu aja..*sigh*

tapi bener kata mbak Eka kalo mbak Yulie seseorang yang romantis dan pribadi Inge yang digambarkan berarti sangat berbesar hati..

selamat buat cerpen perdananya, ditunggu selanjutnya ;-)

Miss G said...

Hmm... surat rumah dan photo album!! photo album itu loh yg agak keterlaluan. jadi dia mau mengekalkan masa-masa indah yang disudahinya sendiri.

kalo dia memberi rumah, kayaknya itu sudah pantas kok, hehehe... jgn dikembalikan ya Inge.. kadang2 perempuan suka salah2 menempatkan harga diri sehingga kehilangan hak gitu :p

ami said...

waaah nyebelin amat ya. tapi memang masih banyak kan ortu yang memaksakan kehendaknya ke anak2nya

Ceritaeka said...

kisah kasih yang tak sampai... klasik tapi memang nyata adanya.
Emosinya maen banget mbak... bagus deh.
Btw mungkin tanda baca di awal2 cerpennya perlu diperhatikan ya mbak :)

ditunggu cerpen2 berikutnya! :)

liecita said...

thx ya semuanya...hihihi...padahal ide yg ada dikepala mau tulis cerita tentang korban pesawat yg wkt itu jatoh tepat tgl 1 januari... eh ga tau kenapa jadinya yg ini...

@Indah: itulah yg namanya takdir...hahahha
@G: mbG...dramatis? sebenernya ending yg aku mau juga bukan ini...dan soal tapar-menampar, kayaknya Inge ga kepikiran deh...soalnya msh shock...
soal album kenangan...mungkin si Adi cuma ingin menitipkannya, coz d rmh Adi dgn keluarga barunya, itu pasti ga ada tempat penyimpanan yang aman...kebangetan emang si Adiyanto...!!!

@EkaW: bisa keliatan dari tulisan ya? aku sih ga tau aku romantis atau engga, tapi aku memang suka banget sesuatu yg melibatkan perasaan yg dalam...*cieh....ga nyambung yah????

@EK: hihi...5 taon Inge buang2 wkt ya? *koq pada dikaitkan dgn sifat ya? apa bisa keliatan????

@Ami: betul skali mba Ami...zaman modern ini msh ada aja ortu yg kayak gitu, dgn alasan status sosial, or apalah...

@Eka-Skunyos: hehehe...tanda bacanya ga bener ya? aku kurang gt suka gunain huruf besar, kecuali untuk nama org...abis di tulis as draft, uda ga sempat di edit lagi...langsung dipublikasikan...

pokoknya thx buat semua yg uda mampir, baca and ksh koment... :)

Winda Krisnadefa said...

waaah...aku telad kasih komen, walaupun termasuk pembaca pertama...bacanya dari HP, yul...jadi gak bisa langsung komen, hiks...
bagus kok, Yul...beneran...
kalau belum pernah nulis aja bisa nulis sepanjang ini, wah, kamu harus percaya kalau kamu tuh punya potensi besar ternyata di bidang penulisan...
lanjutkan!!!
^_^

Miss G said...

Yulie.. saya mo usul.. gimana kalo ceritanya disambung dengan after the break up gitu.. :p Jadi, apa yg dilakukan oleh Inge.. apa yg terjadi selanjutnya dengan dirinya?

liecita said...

@Winda: sama, aku juga qlo lagi pake hp ga bs komment :) pokoknya thanks ya mba Windam:)

@G: mbG...seperti yg aku bilang, ending yg aku mau juga bukan ini, yg artinya, belum selesai...
tapi berhubung ini cerpen, ya cut disini aja...

dan aku akan lajutin kisahnya dari beberapa sudut yg berbeda...*hehehe...ngikutin Jodi Picoult...huehehehehehe...